Kopiku sudah dingin kali ini, dan kenikmatannya
pun sudah hampir menguap seluruhnya bersama berlalunya uap panas kopi tersebut. Aku
lantas meneguk kopi yang tersisa, saat aku secara tidak sengaja membaca tulisan
di sisi gelasnya “repetition is mother of
skill”.
Hal ini menggelitik
pikiranku. Dan muncul pertanyaan di otakku “bagaimana aku bisa menjadikan
repetisi (pengulangan) tanpa harus menjadi rutinitas yang membosankan?”
Pengulangan yang mengarah kepada perkembangan, bukan ke stagnan-an?”
Haruskah aku harus belajar pada para
master beladiri? Bukankah para master beladiri melakukan hal yang sama selama
bertahun-tahun? Tapi alih-alih mereka tersangkut dan stuck di dalam pola yg sama,
mereka bertambah kuat? Atau haruskah aku belajar dari para biksu zen atau para
sufi, bukankah mereka juga melakukan hal yang sama, berdoa dan mengkaji kitab
suci seumur hidup mereka. Tapi sekali lagi, alih-alih mereka menjadi stuck, mereka malah bertambah bijak dan
dalam keilmuannya.
“Lalu apa bedanya dengan yang ku
lakukan” tanyaku dalam hati. Hampir 5 tahun ini aku bekerja keras, membuang lebih
dari 13.200 jam waktu hidupku untuk pekerjaan dan karirku. Melakukan berbagai
rutinitas dengan sekuat tenagaku. But in
the end, I’m still feel same and now, I’m feeling lost?! Bukankah Einstein sendiri yang berkata, bahwa
adalah hal yang Gila, apabila terus melakukan hal yg sama, tapi mengharapkan
hasil yg berbeda?
Tapi mengapa mereka berkembang? Sementara aku disini tertahan?”
“Apa yg membedakan?” tanyaku sekali
lagi. Aku merasa di titik ini mengetahui jawaban ini sangat penting bagiku.
Dititik ini tidak ada logika di otakku yang bisa menjelaskan hal tersebut.
Lantas aku memejamkan mataku. Menarik
panjang dan perlahan nafasku.. Kubiarkan pikiranku melayang dan menembus jauh
ke dalam dimensi imajinasiku. Dalam.. dan terus masuk ke bagian yang terdalam. Kemudian aku membayangkan diriku menjadi seorang master beladiri.. Berdiri gagah dengan
memakai seragam beladiri berwarna hitam lengkap dengan sabuk yang melingkari
dua kali di pinggangku.
Berlatih di kedalaman hutan yang
sunyi, ditemani semilir angin dan gemericik suara daun. Sembari sesekali suara
burung atau serangga menghiasi kesunyian tersebut. Kulayangkan pukulan
demi pukulan, jurus demi jurus.. Kurasakan energy yang mengalir di tubuhku
setiap pukulan dan jurus yang terlontar. Kurasakan detak jantungku yang stabil
dan nafas yang terkendali. Dan kurasakan ketenangan dan fokus yang mendalam di
pikiranku. Kulakukan terus, hingga aku merasa aku cukup mendapat jawaban
pertanyaan-pertanyaanku..
Pikiranku kini melayang lagi, dari
kedalaman hutan, terbang menuju kuil-kuil dan bangunan-bangunan eksentrik di
atas gunung. Kubayangkan diriku menjadi seorang biksu yang sedang khusyuk berdoa
membaca doa sutra dengan penghayatan penuh. Ditemani suara ketukan lonceng yang
harmoni dengan detak jantungku. Kurasakan kedamaian di dalam pikiranku, kurasakan
seluruh jiwaku ikut terhanyut di dalam setiap doa tulus yang terucap.. Kurasakan
penyatuanku dengan semesta di sekelilingku..
Kubayangkan aku menjadi seorang sufi
yang sedang mengaji kitab suci. Melantunkan ayat suci dengan nada yang
menggetarkan jiwaku. Ada cinta dan kepasrahan total yang mengalir mengisi
tiap-tiap pori tubuhku, ada rindu yang membuncah di tiap detak jantungku. Ada
keindahan tentang-Nya yang mengisi tiap neuron di otakku.. Kurasakan total seluruh
keberadaanku, kuyakini dan kusadari penuh tujuan final hidupku..
Dan akupun terlarut…
Kini aku menyadari apa
yang salah dengan rutinitasku. Apa yang membedakan mereka dengan diriku.. Kebuntuanku kini telah mendapatkan titik cerah. Terowongan hitam kebingunganku
telah menemukan cahaya keluar.
Aku mengerti sekarang..
Ada konsistensi dan determinasi untuk
kesempurnaan (Excellency) di dalam
repetisi mereka, tapi hanya ada keterpaksaan dan tekanan di dalam rutinitasku.
Ada penjiwaan dan penghayatan penuh di dalam repetisi mereka, tapi hanya ada semangat
apa adanya dan totalitas-tergantung-insentif dalam rutinitasku.
Aku lupa bahwa di alam materi ini,
manusia pada esensinya adalah makhluk spiritual.
Untuk menemukan ketotalitasannya, manusia harus melibatkan spirit nya. Karena tanpa melibatkan spirit semua kegiatannya tersebut hanya menjadi ritual. Yah ritual, suatu tradisi atau pola kebiasaan turun menurun yang telah
kehilangan esensinya. Tanpa makna, Cuma bentuk kosong kebiasaan yang dipaksakan
kehadirannya. Manusia akan menjadi mudah sekali terjebak di berbagai
aturan-aturan tentang hidup yang dibikin oleh sesama manusia untuk memperumit
hidup mereka sendiri.
Lucu..
Tanpa melibatkan spirit, hubungan suami istri akan menjadi sex tanpa cinta, shalat
akan hanya menjadi gerakan senam sehat saja, sujud tidak akan lebih dari
gerakan menungging dan doa tidak lebih dari membaca mantra sembari bermimpi
bahwa keajaiban jatuh tiba-tiba dari langit. Akhirnya hidup pun tidak lebih dari perjalanan
memenuhi nafsu keduniawian saja.
Disini aku tersadar, bahwa tanpa
melibatkan spirit ku, aku hanya akan berakhir
menjadi “robot”. Yang akan terus disibukkan dan akhirnya tersesat oleh program-program
artificial kehidupan yang ditentukan oleh
lingkunganku. Untuk menjadi manusia secara utuh, aku harus terkoneksi dan
melibatkan spiritku dalam menjalani
semua lini kehidupan ini.
Terlepas dari manusia yang hanya
terjebak ritual.. untuk kemudian menjadi
manusia yang spiritual seutuhnya…
**
Aku hampir berada dipuncak epiphany ku, saat sebuah bunyi keras mengagetkan datang dari meja
kerjaku, membangunkan ku dari kondisi theta-ku.
“BRAAKKKK!!!”
Aku terbangun dengan tiba-tiba! Jantungku berdetak
keras dan tidak beraturan. Ketika ku membuka mataku, terlihat Frederick -supervisorku- dengan perut
besarnya sedang berdiri menatap marah kepadaku. Mata birunya melotot kepadaku,
tangan kirinya berkacak di pinggangnya, dan tangan kanannya menunjuk ke arah
setumpuk file kerjaan yang belum kusentuh dari tadi pagi. Terlihat ia tidak senang dengan apa yang
kulakukan sepanjang pagi ini
“Wake up!! You Lazy-*ss!! This company not
paying u just for daydreaming all day long!! Get f*ckn done your job! And deliver to my table before lunch break, if
you wanna keep ur job! Do U understand me!
Dan satu gebrakan dan luapan kemarahan darinya itu
cukup membuyarkan seluruh pencerahan ku. Dengan tergopoh-gopoh kuhidupkan
monitorku dan kuambil setumpuk file yang kubiarkan tadi sembari memerintahkan
jariku menari secepat mungkin di atas keyboard. Seiring suara ketikanku, derasnya
aliran darah yang memenuhi otak dan kembali kalutnya pikiranku; menjadi paduan
sempurna yang mengiringi berakhirnya pencerahan spiritualku saat ini. Perlahan
tapi pasti pencerahan itu menguap kembali entah kemana. Meninggalkan jiwaku
disini kembali menciut.
“K e b e r a n i a n..” bisiknya, sebelum akhirnya ia sepenuhnya
menguap
“Ah ya.. keberanian…”
“Hal yang sudah lama hilang pada ku dan juga jutaan
orang yang bernasib sama di kota ini.”
Ternyata untuk lepas dari labirin rutinitas ini,
pencerahan saja tidak cukup! Dibutuhkan keberanian yang disertai tindakan untuk
mengikat pencerahan tersebut menjadi jalan cerita takdir hidup yang berbeda.
...
Dan untuk kesekian kalinya dalam hidupku, aku terhisap dan
tenggelam lagi di rutinitas yang sama tanpa jeda ini...
***
Oh my boy.... Any words are now out of my head... Absolutely wonderful!
ReplyDelete*ouch* this is hurt man.. keberanian ya? straight to the point. :)
ReplyDelete