Wednesday, January 11, 2012

Dekonstruksi Rutinitas dan Kontemplasi Sehari-Hari (2)

Part 2 :

Menurut salah satu tulisan yang saya baca, dekonstruksi, secara garis besar adalah cara untuk membawa kontradiksi-kontradiksi yang bersembunyi di balik konsep-konsep kita selama ini dan keyakinan yang melekat pada diri ini ke hadapan kita. Dekonstruksi adalah melucuti sebuah hal yang telah anda pegang teguh sebagai sebuah hal yang common sense. Maka dekonstruksi rutinitas adalah mempertanyakan kembali rutinititas itu oleh anda sebagai subjek, dan bukannya membiarkan diri anda menjadi objek dari rutinitas. To put it simple, dekonstruksi rutinitas dapat dilakukan ketika anda, with full awareness, stop doing the routine for a while and start asking this kind of questions, “Am I having fun with my everyday life?” “Am I happy with all the things that happen to me right know?” 

Pada titik inilah, seharusnya anda dapat memilah satu demi satu hal-hal yang ada dalam kehidupan anda. Anda akan bisa melihat segalanya, kalau menurut istilah dari Spinoza “Sub specie aeternitatis" “melihat segala sesuatu dari perspektif keabadian” atau mungkin kita akan lebih familiar dengan istilah “Seeing the big picture”. Dan jangan salah, terkadang “Big Picture” itu hadir sebagai keteraturan dalam ketidak teraturan, seperti sebuah laut, terlihat statis namun sebenarnya dipenuhi oleh aliran air yang dinamis. Kadang, menjadi seseorang yang mau mencoba untuk melihat semua hal dari sudut pandang yang luas, juga membutuhkan latihan dan kepekaan. So are you seeing the big picture in your daily life? Or else, how should I see the big picture in my daily life?

Kita tidak perlu melakukan hal drastis seperti berhenti total dari rutinitas untuk dapat lebih menghargai hidup. Justru nilai-nilai hidup akan selalu muncul pada rutinitas kita lewat hal yang tidak disangka-sangka. Seperti contohnya, rutinitas yang saya lakukan setiap hari dimulai dengan pergi dan pulang ke tempat bekerja menggunakan bus Damri. Di dalam bus,  saya dapat melakukan dua hal yang berbeda. Yang pertama adalah mengutuk jalanan yang macet, dan menghabiskan waktu dengan smartphone saya sambil marah-marah memberitahukan kepada seluruh dunia betapa kemacetan itu menjengkelkan, atau yang kedua, saya bisa mengamati orang-orang di luar lewat kaca jendela. Menerka-nerka tentang kehidupan mereka, mengamati mimik wajah mereka, melihat ada yang tertawa, tersenyum, terlihat buru-buru, dan lain sebagainya. Dan percayalah, meskipun terdengar konyol, pengamatan seperti itu akan membuat hidup anda terasa lebih berwarna daripada biasanya.

Saya pernah membaca sebuah tulisan tentang ‘eksistensialisme’ yang mengatakan bahwa ” Our attention shifts effortlessly from a passing automobile or humming of electronic equipment to the inner voice. Yet, in between the constant switches from inner to outer, there are minuscular pauses. Those are the existential moments.” Tulisan ini mengatakan, bahwa sebetulnya manusia memiliki kepekaan alami untuk mendengarkan berbagai macam suara baik dari dalam maupun dari luar dirinya. Dan “momen eksistensial” seperti yang dikatakan di atas adalah hal yang terjadi saat fokus kita berpindah dari suara luar (outer voices, misalnya kebisingan jalan raya) menjadi menuju percakapan dan suara-suara dalam diri kita (inner voices). 

 Pic source : http://tinyurl.com/7fo3ft7

Beberapa dari anda mungkin akan lebih akrab dengan istilah “melamun” misalnya. Namun, mungkin saja di saat melamun itu justru momen eksistensial kita hadir. Who knows? Martin Heidegger, seorang eksistensialis, menyebut kondisi ‘minuscular pauses’ ini sebagai ‘being absent’ atau ‘menjadi-tiada’. Para guru sufi atau budaya timur lainnya mungkin mengatakan ini sebagai momen ‘transendental’. Intinya, sebetulnya kita memiliki kemampuan untuk sampai pada keadaan yang memungkinkan diri kita untuk melepaskan diri dari segala beban pikiran, berada pada  kekosongan, rileks dan melihat dunia secara lebih jernih. Bahkan ada yang mengatakan kemungkinan bahwa momen itu adalah fase kreativitas yang paling tinggi dari manusia. Untuk mencapai eureka, atau (menurut istilah pribadi saya) untuk menyerap sebersit energi dan pengetahuan yang sudah disediakan oleh alam semesta.

 Konsep ‘momen eksistensial’ yang dipaparkan di atas, harus diakui memang terdengar ideal-romantis dan tidak mudah untuk diterapkan. Sehingga untuk mencapai hal itu, banyak orang yang lalu melakukan meditasi, berdoa, atau relaksasi secara berkala. Tetapi, berdoa, misalnya, bagi saya pribadi bukan hanya kegiatan bicara pada tuhan, dan tidak melulu dilakukan secara rutin dalam waktu-waktu tertentu dalam konteks “ibadah”. Doa bagi saya artinya adalah ‘menarik diri dari rutinitas’, untuk berbicara secara lebih dalam dengan diri sendiri, dimanapun, kapanpun.  Prayer is a personal way for seeking answer within ourselves. Dan salah satu hal yang kadang terlupakan adalah bahwa doa tidak selalu berupa permintaan dan penyataan. Doa juga bisa muncul atau dipicu oleh pertanyaan.  

Terkadang, mungkin ada orang-orang yang menganggap bahwa kontemplasi atau pertanyaan-pertanyaan seputar kehidupan sehari-hari adalah omong kosong belaka. Ignorance is a bliss katanya. Atau, ada yang bilang “Kebanyakan nanya, ngeluh mulu, kaya ga pernah bersyukur aja”. Menurut saya itu lucu, justru pertanyaan dan keingintahuan adalah cara menuju gerbang spiritualitas yang lebih tinggi. Dan biasanya kontemplasi cenderung membuat orang bersyukur untuk hal-hal kecil yang mungkin bagi kebanyakan orang adalah hal-hal yang konyol. Dengan berhenti dari rutinitas, dan membuka kesadaran akan hal-hal yang “hadir” pada kegiatan itu, pada akhirnya, kita justru akan belajar tentang makna dari rutinitas itu sendiri. 

Budaya Jepang memiliki konsep yang disebut dengan Mono No Aware (物の哀れ) yang artinya “Sensitivity of things”, “The Awareness Of Impermanence” atau kesadaran akan kefanaan. Filosofi ini mengajarkan untuk menikmati keindahan dari hal-hal yang sifatnya sementara, seperti Bunga Sakura yang hanya tumbuh dalam waktu yang singkat, embun pagi dan udara sejuk yang menyegarkan, atau cahaya lembayung senja di sore hari. Filosofi ini mengangkat konsep kontemplasi menjadi bagaimana manusia menghargai kejadian hidup sehari-hari  dalam keduniawiannya. Kontemplasi semacam ini, hanya akan dapat dilatih apabila kita memiliki kemampuan untuk menajamkan kepekaan pada lingkungan kita sehari-hari. Kita hanya perlu belajar untuk menghargai dan mengamati detil-detil kecil kehidupan dengan lebih teliti. Bagi saya kontemplasi berhubungan erat dengan mempertanyakan sekaligus mengagumi, dan mensyukuri kehidupan yang telah diciptakan oleh Tuhan. 

Kontemplasi ada dalam keheningan diantara percakapan yang mencerahkan bersama teman-teman dekat anda. Di mata seorang anak kecil yang menatap diri anda, pada sentuhan lembut dari kekasih yang anda sayangi, lewat tawa orang-orang tak dikenal yang berlalu lalang di sekitar anda. Kontemplasi muncul pada semangkuk sarapan pagi yang disiapkan oleh sang ibunda. Dalam senyuman dari seorang rekan yang sudah anda lupa namanya, melalui ingatan-ingatan menyenangkan maupun menyedihkan di masa lalu, pada tulisan-tulisan yang anda baca saat istirahat kerja, lewat suara daun-daun yang ditiup oleh angin, serta hujan yang turun di sore hari. Kontemplasi hadir sepersekian detik tanpa disadari seperti sebuah kehangatan yang tiba-tiba menyentuh hati, pada semua hal yang dapat membuat kita hening sejenak, berdiam diri, dan mencermati semua kejadian serta memori yang telah, sedang, dan akan terjadi untuk melihat makna lain dari kehidupan ini.
"People often belittle the place where they were born, but heaven can be found in the most unlikely places, this is the greatest gift God can give you: to understand what happened in your life. To have it explained. It is the peace you have been searching for. That's what heaven is. - Mitch Albom, The Five People You Meet in Heaven"

2 comments:

  1. Detta, kukutuk kau jadi penulis beken...

    #terngangasakingkerennya

    ReplyDelete
  2. Indah bro, dan super cerdas blognya, gw menyukai hampir semua bagian dari tulisan ini. But my most favorite part is about big picture thing. U said it very beautiful


    "Big Picture” itu hadir sebagai keteraturan dalam ketidak teraturan, seperti sebuah laut, terlihat statis namun sebenarnya dipenuhi oleh aliran air yang dinamis."

    perpaduan sempurna antara keindahan dan kecerdasan, Great Writing brother!

    ReplyDelete