Tuesday, January 31, 2012

consistence. determination. period.

Consistence and determination. Two things that should be there, at the top of my resolution list this year. Too bad, I've already promised myself to stop writing 'resolution list' or such. Well, at least it's my time to work on some consistency here. And I'm more than determined to do so.

***

Begitulah bagaimana akhirnya saya membiarkan list resolusi tahun 2012 ini kosong begitu saja. Benar-benar kosong. Saya lelah sebenarnya, setiap akhir tahun selalu dikejar-kejar meng-evaluasi diri, yang dilanjutkan dengan membuat sebuah daftar panjang pencapaian baru di tahun mendatang, sebagai hasil dari proses sebelumnya tadi. Jujur saja, saya menganggap semua effort itu tidak sebanding, karena pada akhirnya sebagian besar dari resolusi yang saya buat setiap tahunnya lebih banyak yang gagal dicapai daripada yang benar-benar berhasil. Mulai dari resolusi penting seperti 'mengejar impian sebagai penulis pro' atau yang remeh seperti 'menurunkan berat badan'.

Anehnya, ketika saya memutuskan untuk berhenti membuat daftar resolusi, beberapa hal baik yang tidak terduga mulai terjadi. Tapi tolong, jangan pikir tulisan ini akan mengarah ke sebuah pembahasan dimana inti dari semua ini hanya 'berpasrah'. It's not even close to the main message i want to share here.

***

Kalau boleh membeberkan hasil survey kecil-kecilan saya mengenai 'faktor-faktor pembunuh resolusi', dua kata yang bisa menyimpulkan semuanya mungkin adalah 'konsistensi' dan 'determinasi'.

Karena pada dasarnya, resolusi apapun yang kita buat, sepanjang apapun daftarnya, dan se-spektakuler apapun hasilnya kalau akhirnya tercapai, semuanya cuma omong kosong dengan kurangnya konsistensi dan determinasi. Dua kata paling ampuh untuk melawan kata 'malas', 'takut', 'bosan', dan 'tidak mungkin', yang biasanya menjadi kendala utama dalam mewujudkan sebuah resolusi.

so why don't we just save our energy, with cutting off all those resolution-writing-bullshits, and concentrating to only these words : Consistence and Determination. They fit to any kind of goals you have in mind, and  may come with some added bonus called, 'element of surprise'.

You won't know how far you could go with something, until you apply the magic words.

***

"Life doesn't need us to be upgraded by some listings, that at the end only barrier us from a lot of unpredictable things. It only needs us to be persistence with whatever we're doing at the moment."

 
***

[ weheartit.com ]






p.s. : If you're still insist to make some resolution list, well, i suggest you to save an effort and just write this down 'Consistence. Determination. Period.'


Thursday, January 12, 2012

personally-designed routines.

"Only unmotivated losers have no routines in this city. The rest ? Just learn to live with it!"
***

Rutinitas itu akan selalu tricky untuk dibicarakan. Kalau bilang saya tidak punya rutinitas, orang pasti akan bilang saya bohong. Tapi, kalau bilang saya punya rutinitas, lalu mereka akan men-judge saya dengan tatapan this-poor-girl-has-no-soul-or-creativity. But well, let's give it a try.

***

Di dunia yang saya hadapi sekarang--what so called creative work and agency life--rutinitas berkisar antara; bangun siang, datang ke kantor terlambat dengan alasan lembur kemarin malamnya, membuka iTunes dan memasang lagu dalam mode shuffle, scrolling twitter untuk cari inspirasi (dan melakukan pencitraan), menerima job-req dengan deadline mepet, marah-marah sebentar, mengumpulkan jiwa, brainstrom bersama tim, kerja lembur sampai tengah malam, pulang, scrolling twitter sambil nonton TV kabel atau DVD, tidur menjelang subuh, dan mengulang semuanya dari awal pagi harinya (or should we say, siang harinya).

Beberapa orang mengganggap itu lebih baik dari apa yang mereka punya, dimana rutinitas itu berkisar pada; bangun subuh, datang ke kantor tepat waktu, meeting dan melakukan pekerjaan harian, makan siang, meeting dan melanjutkan melakukan pekerjaan harian, pulang tenggo, pulang ke rumah, makan malam, tidur cepat karena harus bangun subuh keesokan paginya, dan mengulang semuanya dari awal di pagi hari.

Kata mereka, well, setidaknya di dunia saya masih ada semacam excitement dalam proses brainstorming setiap harinya, dimana saya bisa mengeluarkan semua idegila sekaligus menyelesaikan semua pekerjaan saya, dan masih sempat buka twitter dalam frekuensi tidak wajar dengan alasan mencari inspirasi dan mengasah imajinasi--lagi-lagi demi menyelesaikan semua pekerjaan.

Tapi tahukah mereka bahwa sebuah brainstorming di jam makan siang, yang akan membuat saya sudah pasti cranky karena terlambat lunch itu, begitu menyiksa ?  Begitu pula dengan twitter di sela-sela kebuntuan ide justru adalah sesuatu yang intimidating (karena semua orang di timeline tiba-tiba terasa sangat smart, out of the box, intriguing, atau setidaknya lucu) ?
***

Semua orang punya rutinitasnya masing-masing. Sebuah hal yang lumrah menurut saya, bagi individu-individu yang masih punya motivasi untuk meraih sesuatu. Sayangnya--suka atau tidak--rutinitas selalu menantang kita untuk memilih ;

1.) mengikuti saja arusnya dan menjadi semacam routine-zombie;
 atau

2.) menjalaninya dengan kesadaran penuh bahwa siapapun punya priviledge untuk menyusun rutinitasnya sendiri.


Dan tentunya, membandingkan rutinitas kita dengan yang dimiliki orang lain, apalagi sampai mulai mengkategorikan salah satunya menjadi yang lebih baik atau lebih lumayan baik, sama sekali tidak akan membantu. Hanya akan menempatkan kita di sebuah titik, yang bahkan seorang realis akan benci,
"ungrateful-ness".

Karena tidak akan ada yang baik dari sebuah rutinitas, ketika kita berpikir itu hanya sebuah kutukan yang diberikan oleh kehidupan. Tenang saja, bukankah hidup itu selalu datang dengan banyak pilihan ?

***

[www.weheartit.com]

***


"Life'll only be crazy as it's always been
Wake up early, stay up late, having debts
Things won't be as easy as it often seems

Sundays will be empty as it's always been
Watching TV, wake up late, playing dead
Mondays won't be easy with no plans and schemes

Now that you’re still here
The silence shouts it clear
You’re still here
The silence shouts it clear

To the future we surrender
Life's to live and love's to love
To the future we surrender
Life's to live and love's to love..."

--Float, on : "Surrender".



Cubicle dilema (part 2)




Kopiku sudah dingin kali ini, dan kenikmatannya pun sudah hampir menguap seluruhnya bersama berlalunya uap panas kopi tersebut. Aku lantas meneguk kopi yang tersisa, saat aku secara tidak sengaja membaca tulisan di sisi gelasnya “repetition is mother of skill”. 

Hal ini menggelitik pikiranku. Dan muncul pertanyaan di otakku “bagaimana aku bisa menjadikan repetisi (pengulangan) tanpa harus menjadi rutinitas yang membosankan?” Pengulangan yang mengarah kepada perkembangan, bukan ke stagnan-an?”

Haruskah aku harus belajar pada para master beladiri? Bukankah para master beladiri melakukan hal yang sama selama bertahun-tahun? Tapi alih-alih mereka tersangkut dan stuck di dalam pola yg sama, mereka bertambah kuat? Atau haruskah aku belajar dari para biksu zen atau para sufi, bukankah mereka juga melakukan hal yang sama, berdoa dan mengkaji kitab suci seumur hidup mereka. Tapi sekali lagi, alih-alih mereka menjadi stuck, mereka malah bertambah bijak dan dalam keilmuannya.

“Lalu apa bedanya dengan yang ku lakukan” tanyaku dalam hati. Hampir 5 tahun ini aku bekerja keras, membuang lebih dari 13.200 jam waktu hidupku untuk pekerjaan dan karirku. Melakukan berbagai rutinitas dengan sekuat tenagaku. But in the end, I’m still feel same and now, I’m feeling lost?!  Bukankah Einstein sendiri yang berkata, bahwa adalah hal yang Gila, apabila terus melakukan hal yg sama, tapi mengharapkan hasil yg berbeda? 


Tapi mengapa mereka berkembang? Sementara aku disini tertahan?”


“Apa yg membedakan?” tanyaku sekali lagi. Aku merasa di titik ini mengetahui jawaban ini sangat penting bagiku. Dititik ini tidak ada logika di otakku yang bisa menjelaskan hal tersebut.
Lantas aku memejamkan mataku. Menarik panjang dan perlahan nafasku.. Kubiarkan pikiranku melayang dan menembus jauh ke dalam dimensi imajinasiku. Dalam.. dan terus masuk ke bagian yang terdalam. Kemudian aku membayangkan diriku menjadi seorang master beladiri.. Berdiri gagah dengan memakai seragam beladiri berwarna hitam lengkap dengan sabuk yang melingkari dua kali di pinggangku.

Berlatih di kedalaman hutan yang sunyi, ditemani semilir angin dan gemericik suara daun. Sembari sesekali suara burung atau serangga menghiasi kesunyian tersebut. Kulayangkan pukulan demi pukulan, jurus demi jurus.. Kurasakan energy yang mengalir di tubuhku setiap pukulan dan jurus yang terlontar. Kurasakan detak jantungku yang stabil dan nafas yang terkendali. Dan kurasakan ketenangan dan fokus yang mendalam di pikiranku. Kulakukan terus, hingga aku merasa aku cukup mendapat jawaban pertanyaan-pertanyaanku..

Pikiranku kini melayang lagi, dari kedalaman hutan, terbang menuju kuil-kuil dan bangunan-bangunan eksentrik di atas gunung. Kubayangkan diriku menjadi seorang biksu yang sedang khusyuk berdoa membaca doa sutra dengan penghayatan penuh. Ditemani suara ketukan lonceng yang harmoni dengan detak jantungku. Kurasakan kedamaian di dalam pikiranku, kurasakan seluruh jiwaku ikut terhanyut di dalam setiap doa tulus yang terucap.. Kurasakan penyatuanku dengan semesta di sekelilingku..

Kubayangkan aku menjadi seorang sufi yang sedang mengaji kitab suci. Melantunkan ayat suci dengan nada yang menggetarkan jiwaku. Ada cinta dan kepasrahan total yang mengalir mengisi tiap-tiap pori tubuhku, ada rindu yang membuncah di tiap detak jantungku. Ada keindahan tentang-Nya yang mengisi tiap neuron di otakku.. Kurasakan total seluruh keberadaanku, kuyakini dan kusadari penuh tujuan final hidupku.. 

Dan akupun terlarut…


Kini aku menyadari apa yang salah dengan rutinitasku. Apa yang membedakan mereka dengan diriku.. Kebuntuanku kini telah mendapatkan titik cerah. Terowongan hitam kebingunganku telah menemukan cahaya keluar.


Aku mengerti sekarang..

Ada konsistensi dan determinasi untuk kesempurnaan (Excellency) di dalam repetisi mereka, tapi hanya ada keterpaksaan dan tekanan di dalam rutinitasku. 

Ada penjiwaan dan penghayatan penuh di dalam repetisi mereka, tapi hanya ada semangat apa adanya dan totalitas-tergantung-insentif dalam rutinitasku.

Aku lupa bahwa di alam materi ini, manusia pada esensinya adalah makhluk spiritual. Untuk menemukan ketotalitasannya, manusia harus melibatkan spirit nya. Karena tanpa melibatkan spirit semua kegiatannya tersebut hanya menjadi ritual. Yah ritual, suatu tradisi atau pola kebiasaan turun menurun yang telah kehilangan esensinya. Tanpa makna, Cuma bentuk kosong kebiasaan yang dipaksakan kehadirannya. Manusia akan menjadi mudah sekali terjebak di berbagai aturan-aturan tentang hidup yang dibikin oleh sesama manusia untuk memperumit hidup mereka sendiri.

Lucu..


Tanpa melibatkan spirit, hubungan suami istri akan menjadi sex tanpa cinta, shalat akan hanya menjadi gerakan senam sehat saja, sujud tidak akan lebih dari gerakan menungging dan doa tidak lebih dari membaca mantra sembari bermimpi bahwa keajaiban jatuh tiba-tiba dari langit.  Akhirnya hidup pun tidak lebih dari perjalanan memenuhi nafsu keduniawian saja.

Disini aku tersadar, bahwa tanpa melibatkan spirit ku, aku hanya akan berakhir menjadi “robot”. Yang akan terus disibukkan dan akhirnya tersesat oleh program-program artificial kehidupan yang ditentukan oleh lingkunganku. Untuk menjadi manusia secara utuh, aku harus terkoneksi dan melibatkan spiritku dalam menjalani semua lini kehidupan ini.
Terlepas dari manusia yang hanya terjebak ritual.. untuk kemudian menjadi manusia yang spiritual seutuhnya…

**


Aku hampir berada dipuncak epiphany ku, saat sebuah bunyi keras mengagetkan datang dari meja kerjaku, membangunkan ku dari kondisi theta-ku.

BRAAKKKK!!!”

Aku terbangun dengan tiba-tiba! Jantungku berdetak keras dan tidak beraturan. Ketika ku membuka mataku, terlihat Frederick -supervisorku- dengan perut besarnya sedang berdiri menatap marah kepadaku. Mata birunya melotot kepadaku, tangan kirinya berkacak di pinggangnya, dan tangan kanannya menunjuk ke arah setumpuk file kerjaan yang belum kusentuh dari tadi pagi.  Terlihat ia tidak senang dengan apa yang kulakukan sepanjang pagi ini

 Wake up!! You Lazy-*ss!! This company not paying u just for daydreaming all day long!! Get f*ckn done your job! And deliver to my table before lunch break, if you wanna keep ur job! Do U understand me!

Dan satu gebrakan dan luapan kemarahan darinya itu cukup membuyarkan seluruh pencerahan ku. Dengan tergopoh-gopoh kuhidupkan monitorku dan kuambil setumpuk file yang kubiarkan tadi sembari memerintahkan jariku menari secepat mungkin di atas keyboard. Seiring suara ketikanku, derasnya aliran darah yang memenuhi otak dan kembali kalutnya pikiranku; menjadi paduan sempurna yang mengiringi berakhirnya pencerahan spiritualku saat ini. Perlahan tapi pasti pencerahan itu menguap kembali entah kemana. Meninggalkan jiwaku disini kembali menciut.

K e b e r a n i a n.. bisiknya, sebelum akhirnya ia sepenuhnya menguap

Ah ya.. keberanian…”
“Hal yang sudah lama hilang pada ku dan juga jutaan orang yang bernasib sama di kota ini.”


Ternyata untuk lepas dari labirin rutinitas ini, pencerahan saja tidak cukup! Dibutuhkan keberanian yang disertai tindakan untuk mengikat pencerahan tersebut menjadi jalan cerita takdir hidup yang berbeda.

...



Dan untuk kesekian kalinya dalam hidupku, aku terhisap dan tenggelam lagi di rutinitas yang sama tanpa jeda ini...
***

Wednesday, January 11, 2012

Dekonstruksi Rutinitas dan Kontemplasi Sehari-Hari (2)

Part 2 :

Menurut salah satu tulisan yang saya baca, dekonstruksi, secara garis besar adalah cara untuk membawa kontradiksi-kontradiksi yang bersembunyi di balik konsep-konsep kita selama ini dan keyakinan yang melekat pada diri ini ke hadapan kita. Dekonstruksi adalah melucuti sebuah hal yang telah anda pegang teguh sebagai sebuah hal yang common sense. Maka dekonstruksi rutinitas adalah mempertanyakan kembali rutinititas itu oleh anda sebagai subjek, dan bukannya membiarkan diri anda menjadi objek dari rutinitas. To put it simple, dekonstruksi rutinitas dapat dilakukan ketika anda, with full awareness, stop doing the routine for a while and start asking this kind of questions, “Am I having fun with my everyday life?” “Am I happy with all the things that happen to me right know?” 

Pada titik inilah, seharusnya anda dapat memilah satu demi satu hal-hal yang ada dalam kehidupan anda. Anda akan bisa melihat segalanya, kalau menurut istilah dari Spinoza “Sub specie aeternitatis" “melihat segala sesuatu dari perspektif keabadian” atau mungkin kita akan lebih familiar dengan istilah “Seeing the big picture”. Dan jangan salah, terkadang “Big Picture” itu hadir sebagai keteraturan dalam ketidak teraturan, seperti sebuah laut, terlihat statis namun sebenarnya dipenuhi oleh aliran air yang dinamis. Kadang, menjadi seseorang yang mau mencoba untuk melihat semua hal dari sudut pandang yang luas, juga membutuhkan latihan dan kepekaan. So are you seeing the big picture in your daily life? Or else, how should I see the big picture in my daily life?

Kita tidak perlu melakukan hal drastis seperti berhenti total dari rutinitas untuk dapat lebih menghargai hidup. Justru nilai-nilai hidup akan selalu muncul pada rutinitas kita lewat hal yang tidak disangka-sangka. Seperti contohnya, rutinitas yang saya lakukan setiap hari dimulai dengan pergi dan pulang ke tempat bekerja menggunakan bus Damri. Di dalam bus,  saya dapat melakukan dua hal yang berbeda. Yang pertama adalah mengutuk jalanan yang macet, dan menghabiskan waktu dengan smartphone saya sambil marah-marah memberitahukan kepada seluruh dunia betapa kemacetan itu menjengkelkan, atau yang kedua, saya bisa mengamati orang-orang di luar lewat kaca jendela. Menerka-nerka tentang kehidupan mereka, mengamati mimik wajah mereka, melihat ada yang tertawa, tersenyum, terlihat buru-buru, dan lain sebagainya. Dan percayalah, meskipun terdengar konyol, pengamatan seperti itu akan membuat hidup anda terasa lebih berwarna daripada biasanya.

Saya pernah membaca sebuah tulisan tentang ‘eksistensialisme’ yang mengatakan bahwa ” Our attention shifts effortlessly from a passing automobile or humming of electronic equipment to the inner voice. Yet, in between the constant switches from inner to outer, there are minuscular pauses. Those are the existential moments.” Tulisan ini mengatakan, bahwa sebetulnya manusia memiliki kepekaan alami untuk mendengarkan berbagai macam suara baik dari dalam maupun dari luar dirinya. Dan “momen eksistensial” seperti yang dikatakan di atas adalah hal yang terjadi saat fokus kita berpindah dari suara luar (outer voices, misalnya kebisingan jalan raya) menjadi menuju percakapan dan suara-suara dalam diri kita (inner voices). 

 Pic source : http://tinyurl.com/7fo3ft7

Beberapa dari anda mungkin akan lebih akrab dengan istilah “melamun” misalnya. Namun, mungkin saja di saat melamun itu justru momen eksistensial kita hadir. Who knows? Martin Heidegger, seorang eksistensialis, menyebut kondisi ‘minuscular pauses’ ini sebagai ‘being absent’ atau ‘menjadi-tiada’. Para guru sufi atau budaya timur lainnya mungkin mengatakan ini sebagai momen ‘transendental’. Intinya, sebetulnya kita memiliki kemampuan untuk sampai pada keadaan yang memungkinkan diri kita untuk melepaskan diri dari segala beban pikiran, berada pada  kekosongan, rileks dan melihat dunia secara lebih jernih. Bahkan ada yang mengatakan kemungkinan bahwa momen itu adalah fase kreativitas yang paling tinggi dari manusia. Untuk mencapai eureka, atau (menurut istilah pribadi saya) untuk menyerap sebersit energi dan pengetahuan yang sudah disediakan oleh alam semesta.

 Konsep ‘momen eksistensial’ yang dipaparkan di atas, harus diakui memang terdengar ideal-romantis dan tidak mudah untuk diterapkan. Sehingga untuk mencapai hal itu, banyak orang yang lalu melakukan meditasi, berdoa, atau relaksasi secara berkala. Tetapi, berdoa, misalnya, bagi saya pribadi bukan hanya kegiatan bicara pada tuhan, dan tidak melulu dilakukan secara rutin dalam waktu-waktu tertentu dalam konteks “ibadah”. Doa bagi saya artinya adalah ‘menarik diri dari rutinitas’, untuk berbicara secara lebih dalam dengan diri sendiri, dimanapun, kapanpun.  Prayer is a personal way for seeking answer within ourselves. Dan salah satu hal yang kadang terlupakan adalah bahwa doa tidak selalu berupa permintaan dan penyataan. Doa juga bisa muncul atau dipicu oleh pertanyaan.  

Terkadang, mungkin ada orang-orang yang menganggap bahwa kontemplasi atau pertanyaan-pertanyaan seputar kehidupan sehari-hari adalah omong kosong belaka. Ignorance is a bliss katanya. Atau, ada yang bilang “Kebanyakan nanya, ngeluh mulu, kaya ga pernah bersyukur aja”. Menurut saya itu lucu, justru pertanyaan dan keingintahuan adalah cara menuju gerbang spiritualitas yang lebih tinggi. Dan biasanya kontemplasi cenderung membuat orang bersyukur untuk hal-hal kecil yang mungkin bagi kebanyakan orang adalah hal-hal yang konyol. Dengan berhenti dari rutinitas, dan membuka kesadaran akan hal-hal yang “hadir” pada kegiatan itu, pada akhirnya, kita justru akan belajar tentang makna dari rutinitas itu sendiri. 

Budaya Jepang memiliki konsep yang disebut dengan Mono No Aware (物の哀れ) yang artinya “Sensitivity of things”, “The Awareness Of Impermanence” atau kesadaran akan kefanaan. Filosofi ini mengajarkan untuk menikmati keindahan dari hal-hal yang sifatnya sementara, seperti Bunga Sakura yang hanya tumbuh dalam waktu yang singkat, embun pagi dan udara sejuk yang menyegarkan, atau cahaya lembayung senja di sore hari. Filosofi ini mengangkat konsep kontemplasi menjadi bagaimana manusia menghargai kejadian hidup sehari-hari  dalam keduniawiannya. Kontemplasi semacam ini, hanya akan dapat dilatih apabila kita memiliki kemampuan untuk menajamkan kepekaan pada lingkungan kita sehari-hari. Kita hanya perlu belajar untuk menghargai dan mengamati detil-detil kecil kehidupan dengan lebih teliti. Bagi saya kontemplasi berhubungan erat dengan mempertanyakan sekaligus mengagumi, dan mensyukuri kehidupan yang telah diciptakan oleh Tuhan. 

Kontemplasi ada dalam keheningan diantara percakapan yang mencerahkan bersama teman-teman dekat anda. Di mata seorang anak kecil yang menatap diri anda, pada sentuhan lembut dari kekasih yang anda sayangi, lewat tawa orang-orang tak dikenal yang berlalu lalang di sekitar anda. Kontemplasi muncul pada semangkuk sarapan pagi yang disiapkan oleh sang ibunda. Dalam senyuman dari seorang rekan yang sudah anda lupa namanya, melalui ingatan-ingatan menyenangkan maupun menyedihkan di masa lalu, pada tulisan-tulisan yang anda baca saat istirahat kerja, lewat suara daun-daun yang ditiup oleh angin, serta hujan yang turun di sore hari. Kontemplasi hadir sepersekian detik tanpa disadari seperti sebuah kehangatan yang tiba-tiba menyentuh hati, pada semua hal yang dapat membuat kita hening sejenak, berdiam diri, dan mencermati semua kejadian serta memori yang telah, sedang, dan akan terjadi untuk melihat makna lain dari kehidupan ini.
"People often belittle the place where they were born, but heaven can be found in the most unlikely places, this is the greatest gift God can give you: to understand what happened in your life. To have it explained. It is the peace you have been searching for. That's what heaven is. - Mitch Albom, The Five People You Meet in Heaven"

Dekonstruksi Rutinitas dan Kontemplasi Sehari-Hari (1)

“Sometimes when we lose ourselves in fear and despair, in routine and constancy.. We can still find reassurance in a familiar hand on our skin.. Or a kind and loving gesture.. Or a subtle encouragement.. Or a loving embrace.. Or an offer of comfort.. and maybe, the occasional piece of fiction. And we must remember that all these things, the nuances, the anomalies, the subtleties which we assume only accessorize our days, are in fact here for a much larger and nobler cause. They are here to save our lives." – Stranger Than Fiction"

Kutipan di atas berasal dari film “Stranger Than Fiction” yang mengisahkan tentang kehidupan seorang pegawai IRS (semacam kantor pajak di Amerika) bernama Harold Crick yang dimainkan secara sangat baik oleh Will Ferrel. Dalam film itu, Harold digambarkan sebagai contoh klasik dari kehidupan pekerja kelas menengah di dunia modern. Ia adalah pria sederhana yang pendiam, tidak punya banyak teman, jarang bersenang-senang, dan baginya pekerjaan adalah satu-satunya hal yang dia miliki. Kehidupan sehari-harinya penuh dengan rutinitas yang diulang-ulang. Bangun, mandi, memilih pakaian kerja yang sama tiap hari, sarapan dengan menu yang kurang lebih sama tiap hari, berangkat ke kantor dengan rute yang selalu sama, naik bis yang sama pada jam yang sama, tiba di kantor, kerja, pulang, tidur, lalu bangun dan memulai rutinitas yang sama. Begitu terus setiap hari, dan ia sama sekali tidak merasakan ada yang aneh dari rutinitas itu. Tidak ada rasa bosan, statis. Hingga tiba-tiba secara tak sengaja ia dapat mendengar semacam suara-suara aneh di kepalanya, dan menyadari bahwa ternyata suara-suara itu adalah narasi hidupnya dan (somehow) kehidupannya tak lebih dari cerita fiksi belaka. Ia adalah tokoh utama dari sebuah novel fiksi yang sedang ditulis oleh seorang novelis bernama Karen Eiffel (diperankan oleh Emma Thompson).

Cerita berjalan dan akhirnya ia merasakan bahwa seolah-olah sang penulis inilah yang menentukan seperti apa kehidupannya lewat suara-suara itu. Sang penulis punya kendali penuh atas kehidupannya sehari-hari, dia dapat memutuskan seperti apa karirnya, bagaimana kehidupan percintaannya, singkatnya, bagi Harold, Karen sang novelis, adalah “Tuhan” yang memiliki kendali penuh atas hidupnya. Dan ketika Harold mengetahui bahwa ternyata Karen berniat untuk membunuh karakternya dan mengakhiri novelnya  (which means in reality he will also die), ia memutuskan untuk keluar dari rutinitas hidup yang telah diatur oleh Karen, dan membangkang dari narasi “takdirnya”. Kelanjutannya silahkan ditonton sendiri, filmnya sudah tidak begitu baru tapi still recommended to watch. Anyway, film ini memiliki berbagai pesan filosofis yang cukup berhubungan dengan konsep “dekontruksi dari rutinitas” yang akan saya ceritakan.

Secara ekstrim, film ini seperti ingin menunjukkan bahwa pada satu titik, Harold adalah anda, adalah saya, adalah jutaan orang di dunia yang menjalani hidupnya setiap hari dengan rutinitas yang kaku. Ia adalah gambaran dari orang-orang yang terjebak pada pola hidup simplisistik. Pada hidup yang seolah-olah sudah diatur dengan segala variabel X dan Y nya oleh “sang penulis cerita” tanpa menyisakan kuasa dari diri kita sebagai manusia yang bebas. Dalam keadaan demikian, Harold adalah korban dari keteraturan, dari tata tertib yang berlebihan, dari sistem pekerjaan dan rutinitas dunia modern yang menimbulkan keterasingan (alienasi-Karl Marx). Keterasingan dirinya dari alam, dari dirinya sendiri, dari aktivitasnya sendiri, dan dari manusia lain. 


Siapa yang bisa menyangkal bahwa dalil yang berlaku di sebagian besar masyarakat dan keluarga kita tentang kehidupan memang kadang terlalu simplisistik? Dari lahir, kita sudah diberi jalur yang ditetapkan oleh orang tua kita, lengkap dengan beragam aturan yang mau tidak mau harus kita penuhi. Belajarlah baca tulis agar bisa sekolah, luluslah sekolah agar bisa kuliah, luluslah kuliah supaya mendapatkan pekerjaan, carilah uang sebanyak-banyaknya, bersenang-senanglah di hari sabtu dan minggu, kemudian berdoa dan berharaplah agar bertemu dengan jodoh anda, menikah, punya rumah, punya anak, membesarkan anak, lalu jejalkan cara hidup simplisistik itu kepada anak anda.

Bahkan cara hidup pun telah direduksi menjadi sebuah rutinitas, dan banyak yang tidak mempertanyakan hal itu ! Percayalah, jika anda ternyata adalah salah satu penganut setia dari dalil ini, akan semakin banyak orang-orang yang mengalami alienasi dari kehidupannya. Maka manusia, seperti kata Marx, hanya akan menjadi bagian dari mesin-mesin kapitalisme yang bisa diperas habis lewat rutinitas pekerjaannya lalu dibuang dan digantikan oleh manusia lain. Tapi, sebenarnya, apakah “rutinitas” memang seburuk itu? Apakah kita memang tanpa sadar sudah menjadi robot pekerja yang telah dicabut akar kemanusiaannya dan secara sukarela menyembah keuntungan material sebagai tuhan dari segala tuhan? Tidak juga. Bagi saya, rutinitas yang berbahaya adalah rutinitas yang tidak memberikan ruang (dan waktu) kepada manusia untuk berkontemplasi dan mempertanyakan makna dari rutinitasnya itu.

Di era modern ini, katakanlah kita memiliki waktu 24 jam, tidur tujuh jam sehari, maka tinggal ada 17 jam waktu kita terjaga. Sedangkan jam kerja rata-rata pekerja (tanpa lembur) adalah delapam jam, sehingga tinggal ada sembilan jam waktu kita di luar bekerja pada jam kantor. Lalu, coba hitung berapa waktu yang digunakan untuk berada di tengah kemacetan, berapa waktu yang habis untuk menyerap informasi (dari semua media massa dan gadget yang selalu menempel di tangan), berapa waktu yang digunakan untuk mengobrol dan bergosip dengan rekan-rekan kita. Untuk “nongkrong”, atau “hang-out”, atau berbagai kegiatan rekreasi lainnya? Kehidupan kita saat ini bisa dibilang sebagai kehidupan yang sangat melelahkan karena tanpa sadar tiap detiknya kita selalu mempunyai hal-hal untuk dipikirkan atau dimintai fokus dan perhatiannya. Selalu ada distraksi, ada gangguan. Memang kita memiliki waktu untuk istirahat, tapi apakah kita benar-benar ‘beristirahat’ jasmani dan rohani?

-End of Part 1

Cubicle dilema (part 1)


Hari Senin adalah hari sakral bagiku, hari dimana peluit perlombaan, dibunyikan dengan cepat, bahkan jauh lebih cepat bila dibandingkan dengan adzan para muadzin di subuh hari. Dan dalam hitungan jam, aku tenggelam bersama ribuan, bahkan ratusan ribu orang yang membanjiri jalan-jalan raya dengan berbagai alat transportasi demi mengejar apa yang kami sebut sebagai “karir”. Memasuki bis-bis dan kendaraan umum yang sesak, serta antrian kendaraan padat berdebu menuju gedung-gedung angkuh pencakar langit di daerah perkantoran elit

Seperti biasa aku sudah sampai di kantorku tepat pukul delapan pagi. Dan memulai ritual pagi ku dengan membuat secangkir kopi instant panas. Berharap caffeine mampu menjadi doping harian bagi otakku agar ia bisa bekerja maksimal hari ini. Dengan secangkir kopi panas di tangan kananku dan setumpuk file kerjaan di tangan kiriku, aku memasuki cubicleku dan mulai menyalakan komputerku.


Langkahku terhenti ketika aku akan menyalakan monitorku. Menatap pantulan diriku di layar gelap monitor itu, wajah bulat putih berkacamata, kemeja rapi berdasi dengan kepulan asap panas dari cangkir kopi yang baru disesap tadi. Entah mengapa aku merasa seperti de ja vu. aku merasa bahwa kejadian ini pernah terjadi..

Sekali lagi aku pandangi pantulan wajahku di monitor, kupandangi berbagai atribut yang melekat pada tubuhku. Lalu kupandangi meja kerja ku yang sedikit berantakan, tumpukan pekerjaanku, berbagai tempelan reminder dan foto-foto di dinding cubicle, dan asap panas yang mengepul dari cangkir kopiku, kupandangi dunia sekelilingku yang terbatas oleh cubicle itu.  Dan bertanya lagi 

“apakah ini de ja vu?”

Hingga akhirnya di suatu titik aku menyadari bahwa ini bukanlah de javu. Aku sudah terlalu lama mengulang berbagai kejadian pagi ini. Bangun pagi- mandi-  sarapan roti- berlari mengejar bis kota- memasuki kantor-membuat kopi- bekerja dengan segunung pekerjaan- pulang dengan gontai- mandi- dan akhirnya tertidur. Begitu seterusnya, berhari-hari, berbulan-bulan, bertahun-tahun. Sebegitu seringnya hingga indra dan perasaanku menjadi tumpul. Sebegitu seringnya hingga akhirnya di moment ini, aku terbangun dari ketidaksadaran panjangku, dan mulai bertanya pada diriku.

"What the hell I’m doing here?"

Sudah berapa lama aku hilang  kesadaran seperti ini ?  Sudah berapa lama waktu yang telah kuhabiskan ? Aku telah terjebak di lumpur hisap rutinitas sekian lama ini. Rutinitas yang pada awalnya membuatku merasa begitu penting dan berarti! Rutinitas yang lambat laun menghisap habis kesadaran ku sebagai manusia, hingga akhirnya hanya menyisakan jiwa mekanis di dalam tubuhku. Ini membuatku tidak ubahnya bagaikan sebuah robot. Yang terus bekerja dan bekerja sampai baterai kehidupannya habis, lalu rubuh dan terkubur oleh waktu.

Aku layaknya hamster pada roda berputar, merasa diriku selalu membuat kemajuan. Padahal aku hanya berlari dan berputar-putar saja di tempat. Menukar segala sesuatunya untuk perusahaan tempatku bekerja, hingga di suatu titik –dekat dengan kematian- mungkin aku tersadar bahwa pertukaran yang kulakukan selama ini adalah pertukaran yang tidak adil! Dan pada saat itu, sudah cukup terlambat untuk mengubah keadaannya..

5 tahun sudah aku bekerja disini. Berada di kota pelabuhan mimpi semua para pencari kerja. Menyembunyikan kepengecutanku di balik gaji, balutan kemeja berdasi rapi, dan jas korporasi. Tapi apalah aku tanpa ini semua? Hanya jiwa insecure yang berdiri gemetar tanpa seragam “ke-kami-an”. Yang mungkin berakhir menjadi gelandangan atau penjual mimpi di sudut-sudut kehidupan kota. Walaupun sebenarnya aku ragu, bahwa Tuhan menciptakan manusia hanya untuk menjadi tikus korporat..


Ku sesap lagi kopiku yang mulai dingin.. Dan kuselusuri lagi jejak memoriku di dalam otakku. Dan menyadari bahwa rutinitas adalah hal yang diajarkan. Aku mengingat bahwa sedari kecil orang-orang di sekitarku menyuapiku dengan faham-faham “baik” versi mereka, tanpa memberi pengertian apa dan mengapa itu “baik”.  Itulah mengapa mereka memaksa anaknya memasuki sebuah institusi kaku bernama sekolah, memarahinya apabila ia malas pergi kesana, atau apabila nilai matematika nya mendapat angka merah, dan rangkingnya tidak sebesar anak tetangganya. Membangunkan mereka di pagi hari, mencekokinya dengan segelas susu sapi, mendoktrinnya dengan cita-cita –taktercapai- sang orangtua dan memaksanya mengikuti program dan rencana hidup yang telah disusun. Membuat anak tersebut menjadi lebih mekanis dan kaku, tidak seperti anak kecil  seharusnya, dan tidak lagi dinamis sebagaimana segala hal berputar di sekitar kita, dunia dan di semesta ini. 

Dan sejak saat itulah seorang anak belajar bahwa hidup adalah (hanya) bagaimana menjalani rutinitas.
**

Cinta itu Sendiri

I have my own routines. Mostly works. Its consume almost 70% - 80% of my awake time. Ya, dengan konsumsi waktu yang sedemikian mendominasinya dalam hidup saya, maka saya pun jadi mulai berpikir apakah semuanya itu worthed ?

Orang berkata hidup hanya sekali, jadi sungguh sayang apabila dihabiskan dengan melakukan hal-hal di luar dari yang benar-benar kita cintai. They got some point I guess.

Dengan  melakukan yang memang kita cintai, maka pertanyaan di atas pun seharusnya tidak perlu muncul at the first place.

Saya kadang berpikir, to find something you really love to do itu apakah sesuatu yg pasti akan dialami oleh setiap manusia, ataukah menemukannya memerlukan suatu perjalanan tersendiri ?

What is your calling in life ?

Ada yang bilang bahwa panggilan hidup setiap manusia itu berbeda-beda dan unik terhadap satu sama lainnya. Dan bahwa sesuatu yg kita benar-benar kita cintai artinya merupakan panggilan hidup itu sendiri.

Panggilan hidup.. Barangkali erat dengan pertanyaan klasik yang paling spiritual yang pernah dipertanyakan oleh umat manusia :

"What the hell am I here for ?"

Karena kita semua yakin, bahwa Tuhan tidak akan mungkin iseng menciptakan manusia. Tugas kita konon, adalah menemukan tujuan tersebut, yang pada akhirnya akan melengkapi hidup kita dengan makna dan arti.

Orang bilang bahwa "works is love made visible". Rutinitas pekerjaan yang kita lakukan setiap hari.. Yang mengkonsumsi 70 hingga 80% waktu terbangun kita seharusnya merupakan pengejewantahan cinta itu sendiri. Cinta dalam bentuknya yang paling murni dan jujur. Cinta yang sederhana, mudah dipahami tanpa memerlukan bahasa tertentu untuk menjelaskannya. Cinta yang membangun dan menumbuhkan sekelilingnya. Cinta yang menginspirasi tumbuhnya kebaikan-kebaikan baru.

Pada akhirnya, rutinitas yang kita lakukan dengan sepenuh hati dan kecintaan akan membuat kita menjelma menjadi Cinta itu sendiri..

Tuesday, January 10, 2012

Rutinitas, Ruang dan Waktu



Hari itu saya merasa sangat lelah. Seluruh motivasi kerja saya padam tiba-tiba. Saya mengira saya pasti sudah depresi. Saya mengenalinya dari gejalanya. Nafsu makan saya hilang, saya mudah marah pada hal-hal remeh, tidak mampu menahan konsentrasi, dan sering mengalami tremor ringan pada tangan. Saya bahkan sempat terpikir bahwa hidup itu tidak ada gunanya. “Alangkah baiknya jika saya hanya udara, yang mengisi ruang tanpa perlu menjadi siapa-siapa”, gumam saya dalam hati.

Setelah saya merenung, saya menyadari bahwa saya terbebani oleh dua hal besar sekaligus: Persiapan Pernikahan dan tanggung-jawab Pekerjaan.

Rutinitas baru: Setiap pagi, saya bangun dengan dahi berkerut, memikirkan jadwal tugas hari itu. Setelah mandi saya sarapan ala kadarnya, itu pun sambil memikirkan tantangan-tantangan yang harus saya hadapi di kantor nanti. Berkendara dengan murung dan marah, karena pikiran saya terpaut pada persiapan pernikahan yang tampaknya tak pernah usai. Setelah sehari penuh bekerja dan berkreasi, otak saya panas dan tak mampu berpikir jernih. Lagi, saya mengerjakan pekerjaan-rumah: rancang tugas esok hari, dan siapkan pernikahan.

Dunia terasa bergasing, memualkan, memuakkan. Seolah-olah saya terpojok pada sebuah sudut yang terus menerus dilempari sesuatu.

Setelah masa-masa depresi itu lewat, saya memaksakan diri untuk berkaca. Apa yang terjadi dengan alam kesadaran ku saat sedang depresi?


Ruang dan Waktu
Hidup terdiri dari dua dimensi, Ruang dan Waktu. Kata teoris fisika. Tapi anggaplah asumsi ini benar. Maka, kita mengalami hidup dalam sebentuk ruang dan waktu. Apakah hakikat ruang dan waktu? Relatif, kata Einstein. Dan saya setuju.

Dalam mengalami hidup (saya menggunakan kata aktif, bukan pasif), kita selalu berada dalam relativitas ruang dan waktu. Ruang pribadi tempat saya istirahat, misalnya, adalah ruang sosial bila ternyata sepupu saya datang menginap. Ruang sosial bagi saya, bisa jadi menjadi ruang privat bagi orang tua saya untuk berdiskusi. Relatif. Dan tentu semua orang sudah mengalami sendiri, bagaimana waktu berjalan begitu cepat saat kita mengerjakan sesuatu yang menyenangkan, dan bagaimana waktu berjalan amat lambat saat kita menunggu seseorang. Relatif.

Begitu juga dengan rutinitas. Well, jika rutinitas adalah bagian dari hidup (dan memang iya), maka ia juga bersifat relatif, relatif ruangnya dan relatif waktunya. Rutinitas bukan sesuatu yang tercetak di marmer untuk terjadi begitu selamanya. Sesuatu yang kita sebut 'rutin' saat ini, bisa jadi menjadi tidak rutin di kemudian hari. Relatif!

Disini noktah hitam-nya. Kebanyakan dari kita, oh maaf saya ralat, saya sering sekali melupakan hal ini. Saya menganggap kesibukan (baca: rutinitas) saat itu adalah kenyataan hidup saya untuk selamanya. Dengan berpkir begini, saya merasa berada dalam jurang, dalam sudut, dalam treadmill yang berjalan terus tanpa henti, tanpa bisa saya melakukan apapun atasnya. Jika akhirnya saya depresi, ya tidak aneh.

Fiuh...

Semua yang muncul, baik atau buruk, akan pergi pada waktunya, untuk muncul kembali di suatu masa. Kesibukan dan kelapangan adalah sesuatu yang datang dan pergi. Yang kita sebut sibuk saat ini belum tentu sibuk di lain hari. Yang sedang sibuk saat ini belum tentu sibuk di tempat lain. Relatif.


Hiduplah Saat Demi Saat

Inilah nasehat terbaik yang pernah saya dapatkan dari seseorang. Hiduplah saat demi saat, detik demi detik. Nikmati prosesnya. Nasehat ini tampak begitu mengenai dan mudah diserap saat saya sedang senang, dan ritme kesibukan masih dalam batas toleransi. Namun ketika tanggung-jawab dan rencana bertambah, indikator sibuk mencapai titik maksimal, mesin saya kewalahan lalu korslet.

Pahamilah kesibukan sebagai tanda ilahiah, pelontar kesadaran, dan pengingat esensi hidup. Esensi hidup apa? Tidak lain dan tidak bukan “Relativitas”.

Sebagai penutup, ada baiknya kita tambahkan sesuatu dalam nasehat indah barusan: “Hiduplah saat demi saat, nikmati prosesnya, bahkan saat kesibukan tampak menggila, karena segalanya datang dan pergi. Relatif.” Semoga tak akan ada depresi lagi.