Wednesday, January 11, 2012

Cubicle dilema (part 1)


Hari Senin adalah hari sakral bagiku, hari dimana peluit perlombaan, dibunyikan dengan cepat, bahkan jauh lebih cepat bila dibandingkan dengan adzan para muadzin di subuh hari. Dan dalam hitungan jam, aku tenggelam bersama ribuan, bahkan ratusan ribu orang yang membanjiri jalan-jalan raya dengan berbagai alat transportasi demi mengejar apa yang kami sebut sebagai “karir”. Memasuki bis-bis dan kendaraan umum yang sesak, serta antrian kendaraan padat berdebu menuju gedung-gedung angkuh pencakar langit di daerah perkantoran elit

Seperti biasa aku sudah sampai di kantorku tepat pukul delapan pagi. Dan memulai ritual pagi ku dengan membuat secangkir kopi instant panas. Berharap caffeine mampu menjadi doping harian bagi otakku agar ia bisa bekerja maksimal hari ini. Dengan secangkir kopi panas di tangan kananku dan setumpuk file kerjaan di tangan kiriku, aku memasuki cubicleku dan mulai menyalakan komputerku.


Langkahku terhenti ketika aku akan menyalakan monitorku. Menatap pantulan diriku di layar gelap monitor itu, wajah bulat putih berkacamata, kemeja rapi berdasi dengan kepulan asap panas dari cangkir kopi yang baru disesap tadi. Entah mengapa aku merasa seperti de ja vu. aku merasa bahwa kejadian ini pernah terjadi..

Sekali lagi aku pandangi pantulan wajahku di monitor, kupandangi berbagai atribut yang melekat pada tubuhku. Lalu kupandangi meja kerja ku yang sedikit berantakan, tumpukan pekerjaanku, berbagai tempelan reminder dan foto-foto di dinding cubicle, dan asap panas yang mengepul dari cangkir kopiku, kupandangi dunia sekelilingku yang terbatas oleh cubicle itu.  Dan bertanya lagi 

“apakah ini de ja vu?”

Hingga akhirnya di suatu titik aku menyadari bahwa ini bukanlah de javu. Aku sudah terlalu lama mengulang berbagai kejadian pagi ini. Bangun pagi- mandi-  sarapan roti- berlari mengejar bis kota- memasuki kantor-membuat kopi- bekerja dengan segunung pekerjaan- pulang dengan gontai- mandi- dan akhirnya tertidur. Begitu seterusnya, berhari-hari, berbulan-bulan, bertahun-tahun. Sebegitu seringnya hingga indra dan perasaanku menjadi tumpul. Sebegitu seringnya hingga akhirnya di moment ini, aku terbangun dari ketidaksadaran panjangku, dan mulai bertanya pada diriku.

"What the hell I’m doing here?"

Sudah berapa lama aku hilang  kesadaran seperti ini ?  Sudah berapa lama waktu yang telah kuhabiskan ? Aku telah terjebak di lumpur hisap rutinitas sekian lama ini. Rutinitas yang pada awalnya membuatku merasa begitu penting dan berarti! Rutinitas yang lambat laun menghisap habis kesadaran ku sebagai manusia, hingga akhirnya hanya menyisakan jiwa mekanis di dalam tubuhku. Ini membuatku tidak ubahnya bagaikan sebuah robot. Yang terus bekerja dan bekerja sampai baterai kehidupannya habis, lalu rubuh dan terkubur oleh waktu.

Aku layaknya hamster pada roda berputar, merasa diriku selalu membuat kemajuan. Padahal aku hanya berlari dan berputar-putar saja di tempat. Menukar segala sesuatunya untuk perusahaan tempatku bekerja, hingga di suatu titik –dekat dengan kematian- mungkin aku tersadar bahwa pertukaran yang kulakukan selama ini adalah pertukaran yang tidak adil! Dan pada saat itu, sudah cukup terlambat untuk mengubah keadaannya..

5 tahun sudah aku bekerja disini. Berada di kota pelabuhan mimpi semua para pencari kerja. Menyembunyikan kepengecutanku di balik gaji, balutan kemeja berdasi rapi, dan jas korporasi. Tapi apalah aku tanpa ini semua? Hanya jiwa insecure yang berdiri gemetar tanpa seragam “ke-kami-an”. Yang mungkin berakhir menjadi gelandangan atau penjual mimpi di sudut-sudut kehidupan kota. Walaupun sebenarnya aku ragu, bahwa Tuhan menciptakan manusia hanya untuk menjadi tikus korporat..


Ku sesap lagi kopiku yang mulai dingin.. Dan kuselusuri lagi jejak memoriku di dalam otakku. Dan menyadari bahwa rutinitas adalah hal yang diajarkan. Aku mengingat bahwa sedari kecil orang-orang di sekitarku menyuapiku dengan faham-faham “baik” versi mereka, tanpa memberi pengertian apa dan mengapa itu “baik”.  Itulah mengapa mereka memaksa anaknya memasuki sebuah institusi kaku bernama sekolah, memarahinya apabila ia malas pergi kesana, atau apabila nilai matematika nya mendapat angka merah, dan rangkingnya tidak sebesar anak tetangganya. Membangunkan mereka di pagi hari, mencekokinya dengan segelas susu sapi, mendoktrinnya dengan cita-cita –taktercapai- sang orangtua dan memaksanya mengikuti program dan rencana hidup yang telah disusun. Membuat anak tersebut menjadi lebih mekanis dan kaku, tidak seperti anak kecil  seharusnya, dan tidak lagi dinamis sebagaimana segala hal berputar di sekitar kita, dunia dan di semesta ini. 

Dan sejak saat itulah seorang anak belajar bahwa hidup adalah (hanya) bagaimana menjalani rutinitas.
**

No comments:

Post a Comment