Hari Senin adalah hari sakral bagiku,
hari dimana peluit perlombaan, dibunyikan dengan cepat, bahkan jauh lebih cepat
bila dibandingkan dengan adzan para muadzin di subuh hari. Dan dalam hitungan
jam, aku tenggelam bersama ribuan, bahkan ratusan ribu orang yang membanjiri
jalan-jalan raya dengan berbagai alat transportasi demi mengejar apa yang kami
sebut sebagai “karir”. Memasuki bis-bis dan kendaraan umum yang sesak, serta
antrian kendaraan padat berdebu menuju gedung-gedung angkuh pencakar langit di
daerah perkantoran elit
Seperti biasa aku sudah sampai di
kantorku tepat pukul delapan pagi. Dan memulai ritual pagi ku dengan membuat
secangkir kopi instant panas. Berharap caffeine
mampu menjadi doping harian bagi otakku agar ia bisa bekerja maksimal hari ini.
Dengan secangkir kopi panas di tangan kananku dan setumpuk file kerjaan di
tangan kiriku, aku memasuki cubicleku dan mulai menyalakan komputerku.
Langkahku terhenti ketika aku akan menyalakan monitorku. Menatap pantulan diriku di layar gelap monitor itu, wajah bulat putih berkacamata, kemeja rapi berdasi dengan kepulan asap panas dari cangkir kopi yang baru disesap tadi. Entah mengapa aku merasa seperti de ja vu. aku merasa bahwa kejadian ini pernah terjadi..
Sekali lagi aku pandangi pantulan
wajahku di monitor, kupandangi berbagai atribut yang melekat pada tubuhku. Lalu
kupandangi meja kerja ku yang sedikit berantakan, tumpukan pekerjaanku, berbagai
tempelan reminder dan foto-foto di dinding cubicle, dan asap panas yang
mengepul dari cangkir kopiku, kupandangi dunia sekelilingku yang terbatas oleh
cubicle itu. Dan bertanya lagi
“apakah ini de ja vu?”
Hingga akhirnya di suatu titik aku
menyadari bahwa ini bukanlah de javu.
Aku sudah terlalu lama mengulang berbagai kejadian pagi ini. Bangun pagi- mandi- sarapan roti- berlari mengejar
bis kota- memasuki kantor-membuat kopi- bekerja dengan segunung pekerjaan-
pulang dengan gontai- mandi- dan akhirnya tertidur. Begitu seterusnya, berhari-hari,
berbulan-bulan, bertahun-tahun. Sebegitu seringnya hingga indra dan perasaanku
menjadi tumpul. Sebegitu seringnya hingga akhirnya di moment ini, aku terbangun
dari ketidaksadaran panjangku, dan mulai bertanya pada diriku.
"What the hell I’m doing here?"
Sudah berapa lama aku hilang kesadaran seperti ini ? Sudah berapa lama waktu yang telah kuhabiskan ?
Aku telah terjebak di lumpur hisap rutinitas
sekian lama ini. Rutinitas yang pada awalnya membuatku merasa begitu penting
dan berarti! Rutinitas yang lambat laun menghisap habis kesadaran ku sebagai
manusia, hingga akhirnya hanya menyisakan jiwa mekanis di dalam tubuhku. Ini
membuatku tidak ubahnya bagaikan sebuah robot. Yang terus bekerja dan bekerja
sampai baterai kehidupannya habis, lalu rubuh dan terkubur oleh waktu.
Aku layaknya hamster pada roda
berputar, merasa diriku selalu membuat kemajuan. Padahal aku hanya berlari dan
berputar-putar saja di tempat. Menukar segala sesuatunya untuk perusahaan tempatku
bekerja, hingga di suatu titik –dekat dengan kematian- mungkin aku tersadar
bahwa pertukaran yang kulakukan selama ini adalah pertukaran yang tidak adil! Dan pada
saat itu, sudah cukup terlambat untuk mengubah keadaannya..
5 tahun sudah aku bekerja disini. Berada
di kota pelabuhan mimpi semua para pencari kerja. Menyembunyikan kepengecutanku
di balik gaji, balutan kemeja berdasi rapi, dan jas korporasi. Tapi apalah aku
tanpa ini semua? Hanya jiwa insecure yang berdiri gemetar tanpa seragam “ke-kami-an”.
Yang mungkin berakhir menjadi gelandangan atau penjual mimpi di sudut-sudut kehidupan
kota. Walaupun sebenarnya aku ragu, bahwa Tuhan menciptakan manusia hanya untuk
menjadi tikus korporat..
Ku sesap lagi kopiku yang mulai dingin.. Dan kuselusuri lagi jejak memoriku di dalam otakku. Dan menyadari bahwa rutinitas adalah hal yang diajarkan. Aku mengingat bahwa sedari kecil orang-orang di sekitarku menyuapiku dengan faham-faham “baik” versi mereka, tanpa memberi pengertian apa dan mengapa itu “baik”. Itulah mengapa mereka memaksa anaknya memasuki sebuah institusi kaku bernama sekolah, memarahinya apabila ia malas pergi kesana, atau apabila nilai matematika nya mendapat angka merah, dan rangkingnya tidak sebesar anak tetangganya. Membangunkan mereka di pagi hari, mencekokinya dengan segelas susu sapi, mendoktrinnya dengan cita-cita –taktercapai- sang orangtua dan memaksanya mengikuti program dan rencana hidup yang telah disusun. Membuat anak tersebut menjadi lebih mekanis dan kaku, tidak seperti anak kecil seharusnya, dan tidak lagi dinamis sebagaimana segala hal berputar di sekitar kita, dunia dan di semesta ini.
Dan sejak saat itulah seorang anak belajar bahwa hidup adalah (hanya) bagaimana menjalani rutinitas.
**
No comments:
Post a Comment