“Sometimes when we lose ourselves in fear and despair, in routine and constancy.. We can still find reassurance in a familiar hand on our skin.. Or a kind and loving gesture.. Or a subtle encouragement.. Or a loving embrace.. Or an offer of comfort.. and maybe, the occasional piece of fiction. And we must remember that all these things, the nuances, the anomalies, the subtleties which we assume only accessorize our days, are in fact here for a much larger and nobler cause. They are here to save our lives." – Stranger Than Fiction"
Kutipan
di atas berasal dari film “Stranger Than Fiction” yang mengisahkan tentang
kehidupan seorang pegawai IRS (semacam kantor pajak di Amerika) bernama Harold
Crick yang dimainkan secara sangat baik oleh Will Ferrel. Dalam film itu,
Harold digambarkan sebagai contoh klasik dari kehidupan pekerja kelas menengah
di dunia modern. Ia adalah pria sederhana yang pendiam, tidak punya banyak
teman, jarang bersenang-senang, dan baginya pekerjaan adalah satu-satunya hal yang
dia miliki. Kehidupan sehari-harinya penuh dengan rutinitas yang diulang-ulang.
Bangun, mandi, memilih pakaian kerja yang sama tiap hari, sarapan dengan menu
yang kurang lebih sama tiap hari, berangkat ke kantor dengan rute yang selalu
sama, naik bis yang sama pada jam yang sama, tiba di kantor, kerja, pulang,
tidur, lalu bangun dan memulai rutinitas yang sama. Begitu terus setiap hari,
dan ia sama sekali tidak merasakan ada yang aneh dari rutinitas itu. Tidak ada
rasa bosan, statis. Hingga tiba-tiba secara tak sengaja ia dapat mendengar
semacam suara-suara aneh di kepalanya, dan menyadari bahwa ternyata suara-suara
itu adalah narasi hidupnya dan (somehow) kehidupannya tak lebih dari cerita
fiksi belaka. Ia adalah tokoh utama dari sebuah novel fiksi yang sedang ditulis
oleh seorang novelis bernama Karen Eiffel (diperankan oleh Emma Thompson).
Cerita
berjalan dan akhirnya ia merasakan bahwa seolah-olah sang penulis inilah yang
menentukan seperti apa kehidupannya lewat suara-suara itu. Sang penulis punya kendali
penuh atas kehidupannya sehari-hari, dia dapat memutuskan seperti apa karirnya,
bagaimana kehidupan percintaannya, singkatnya, bagi Harold, Karen sang novelis,
adalah “Tuhan” yang memiliki kendali penuh atas hidupnya. Dan ketika Harold
mengetahui bahwa ternyata Karen berniat untuk membunuh karakternya dan
mengakhiri novelnya (which means in reality he will also die), ia
memutuskan untuk keluar dari rutinitas hidup yang telah diatur oleh Karen, dan
membangkang dari narasi “takdirnya”. Kelanjutannya silahkan ditonton sendiri,
filmnya sudah tidak begitu baru tapi still recommended to watch. Anyway, film
ini memiliki berbagai pesan filosofis yang cukup berhubungan dengan konsep
“dekontruksi dari rutinitas” yang akan saya ceritakan.
Secara
ekstrim, film ini seperti ingin menunjukkan bahwa pada satu titik, Harold
adalah anda, adalah saya, adalah jutaan orang di dunia yang menjalani hidupnya
setiap hari dengan rutinitas yang kaku. Ia adalah gambaran dari orang-orang
yang terjebak pada pola hidup simplisistik. Pada hidup yang seolah-olah sudah
diatur dengan segala variabel X dan Y nya oleh “sang penulis cerita” tanpa
menyisakan kuasa dari diri kita sebagai manusia yang bebas. Dalam keadaan
demikian, Harold adalah korban dari keteraturan, dari tata tertib yang
berlebihan, dari sistem pekerjaan dan rutinitas dunia modern yang menimbulkan
keterasingan (alienasi-Karl Marx). Keterasingan dirinya dari alam, dari dirinya
sendiri, dari aktivitasnya sendiri, dan dari manusia lain.
pic
source : http://tinyurl.com/6plkxxs
Siapa
yang bisa menyangkal bahwa dalil yang berlaku di sebagian besar masyarakat dan
keluarga kita tentang kehidupan memang kadang terlalu simplisistik? Dari lahir,
kita sudah diberi jalur yang ditetapkan oleh orang tua kita, lengkap dengan
beragam aturan yang mau tidak mau harus kita penuhi. Belajarlah baca tulis agar
bisa sekolah, luluslah sekolah agar bisa kuliah, luluslah kuliah supaya mendapatkan
pekerjaan, carilah uang sebanyak-banyaknya, bersenang-senanglah di hari sabtu
dan minggu, kemudian berdoa dan berharaplah agar bertemu dengan jodoh anda,
menikah, punya rumah, punya anak, membesarkan anak, lalu jejalkan cara hidup
simplisistik itu kepada anak anda.
Bahkan
cara hidup pun telah direduksi menjadi sebuah rutinitas, dan banyak yang tidak
mempertanyakan hal itu ! Percayalah, jika anda ternyata adalah salah satu
penganut setia dari dalil ini, akan semakin banyak orang-orang yang mengalami
alienasi dari kehidupannya. Maka manusia, seperti kata Marx, hanya akan menjadi
bagian dari mesin-mesin kapitalisme yang bisa diperas habis lewat rutinitas
pekerjaannya lalu dibuang dan digantikan oleh manusia lain. Tapi, sebenarnya,
apakah “rutinitas” memang seburuk itu? Apakah kita memang tanpa sadar sudah
menjadi robot pekerja yang telah dicabut akar kemanusiaannya dan secara
sukarela menyembah keuntungan material sebagai tuhan dari segala tuhan? Tidak
juga. Bagi saya, rutinitas yang berbahaya adalah rutinitas yang tidak
memberikan ruang (dan waktu) kepada manusia untuk berkontemplasi dan
mempertanyakan makna dari rutinitasnya itu.
Di
era modern ini, katakanlah kita memiliki waktu 24 jam, tidur tujuh jam sehari,
maka tinggal ada 17 jam waktu kita terjaga. Sedangkan jam kerja rata-rata
pekerja (tanpa lembur) adalah delapam jam, sehingga tinggal ada sembilan jam
waktu kita di luar bekerja pada jam kantor. Lalu, coba hitung berapa waktu yang
digunakan untuk berada di tengah kemacetan, berapa waktu yang habis untuk
menyerap informasi (dari semua media massa dan gadget yang selalu menempel di
tangan), berapa waktu yang digunakan untuk mengobrol dan bergosip dengan
rekan-rekan kita. Untuk “nongkrong”, atau “hang-out”, atau berbagai kegiatan
rekreasi lainnya? Kehidupan kita saat ini bisa dibilang sebagai kehidupan yang
sangat melelahkan karena tanpa sadar tiap detiknya kita selalu mempunyai
hal-hal untuk dipikirkan atau dimintai fokus dan perhatiannya. Selalu ada
distraksi, ada gangguan. Memang kita memiliki waktu untuk istirahat, tapi
apakah kita benar-benar ‘beristirahat’ jasmani dan rohani?
-End of Part 1
-End of Part 1
"rutinitas yang berbahaya adalah rutinitas yang tidak memberikan ruang (dan waktu) kepada manusia untuk berkontemplasi dan mempertanyakan makna dari rutinitasnya itu"
ReplyDeleteaaah intriguing det! kalimat yang melengkapi lubang dari tulisan gw soal ini. Mantap bro! Smart dude!