Wednesday, January 11, 2012

Dekonstruksi Rutinitas dan Kontemplasi Sehari-Hari (1)

“Sometimes when we lose ourselves in fear and despair, in routine and constancy.. We can still find reassurance in a familiar hand on our skin.. Or a kind and loving gesture.. Or a subtle encouragement.. Or a loving embrace.. Or an offer of comfort.. and maybe, the occasional piece of fiction. And we must remember that all these things, the nuances, the anomalies, the subtleties which we assume only accessorize our days, are in fact here for a much larger and nobler cause. They are here to save our lives." – Stranger Than Fiction"

Kutipan di atas berasal dari film “Stranger Than Fiction” yang mengisahkan tentang kehidupan seorang pegawai IRS (semacam kantor pajak di Amerika) bernama Harold Crick yang dimainkan secara sangat baik oleh Will Ferrel. Dalam film itu, Harold digambarkan sebagai contoh klasik dari kehidupan pekerja kelas menengah di dunia modern. Ia adalah pria sederhana yang pendiam, tidak punya banyak teman, jarang bersenang-senang, dan baginya pekerjaan adalah satu-satunya hal yang dia miliki. Kehidupan sehari-harinya penuh dengan rutinitas yang diulang-ulang. Bangun, mandi, memilih pakaian kerja yang sama tiap hari, sarapan dengan menu yang kurang lebih sama tiap hari, berangkat ke kantor dengan rute yang selalu sama, naik bis yang sama pada jam yang sama, tiba di kantor, kerja, pulang, tidur, lalu bangun dan memulai rutinitas yang sama. Begitu terus setiap hari, dan ia sama sekali tidak merasakan ada yang aneh dari rutinitas itu. Tidak ada rasa bosan, statis. Hingga tiba-tiba secara tak sengaja ia dapat mendengar semacam suara-suara aneh di kepalanya, dan menyadari bahwa ternyata suara-suara itu adalah narasi hidupnya dan (somehow) kehidupannya tak lebih dari cerita fiksi belaka. Ia adalah tokoh utama dari sebuah novel fiksi yang sedang ditulis oleh seorang novelis bernama Karen Eiffel (diperankan oleh Emma Thompson).

Cerita berjalan dan akhirnya ia merasakan bahwa seolah-olah sang penulis inilah yang menentukan seperti apa kehidupannya lewat suara-suara itu. Sang penulis punya kendali penuh atas kehidupannya sehari-hari, dia dapat memutuskan seperti apa karirnya, bagaimana kehidupan percintaannya, singkatnya, bagi Harold, Karen sang novelis, adalah “Tuhan” yang memiliki kendali penuh atas hidupnya. Dan ketika Harold mengetahui bahwa ternyata Karen berniat untuk membunuh karakternya dan mengakhiri novelnya  (which means in reality he will also die), ia memutuskan untuk keluar dari rutinitas hidup yang telah diatur oleh Karen, dan membangkang dari narasi “takdirnya”. Kelanjutannya silahkan ditonton sendiri, filmnya sudah tidak begitu baru tapi still recommended to watch. Anyway, film ini memiliki berbagai pesan filosofis yang cukup berhubungan dengan konsep “dekontruksi dari rutinitas” yang akan saya ceritakan.

Secara ekstrim, film ini seperti ingin menunjukkan bahwa pada satu titik, Harold adalah anda, adalah saya, adalah jutaan orang di dunia yang menjalani hidupnya setiap hari dengan rutinitas yang kaku. Ia adalah gambaran dari orang-orang yang terjebak pada pola hidup simplisistik. Pada hidup yang seolah-olah sudah diatur dengan segala variabel X dan Y nya oleh “sang penulis cerita” tanpa menyisakan kuasa dari diri kita sebagai manusia yang bebas. Dalam keadaan demikian, Harold adalah korban dari keteraturan, dari tata tertib yang berlebihan, dari sistem pekerjaan dan rutinitas dunia modern yang menimbulkan keterasingan (alienasi-Karl Marx). Keterasingan dirinya dari alam, dari dirinya sendiri, dari aktivitasnya sendiri, dan dari manusia lain. 


Siapa yang bisa menyangkal bahwa dalil yang berlaku di sebagian besar masyarakat dan keluarga kita tentang kehidupan memang kadang terlalu simplisistik? Dari lahir, kita sudah diberi jalur yang ditetapkan oleh orang tua kita, lengkap dengan beragam aturan yang mau tidak mau harus kita penuhi. Belajarlah baca tulis agar bisa sekolah, luluslah sekolah agar bisa kuliah, luluslah kuliah supaya mendapatkan pekerjaan, carilah uang sebanyak-banyaknya, bersenang-senanglah di hari sabtu dan minggu, kemudian berdoa dan berharaplah agar bertemu dengan jodoh anda, menikah, punya rumah, punya anak, membesarkan anak, lalu jejalkan cara hidup simplisistik itu kepada anak anda.

Bahkan cara hidup pun telah direduksi menjadi sebuah rutinitas, dan banyak yang tidak mempertanyakan hal itu ! Percayalah, jika anda ternyata adalah salah satu penganut setia dari dalil ini, akan semakin banyak orang-orang yang mengalami alienasi dari kehidupannya. Maka manusia, seperti kata Marx, hanya akan menjadi bagian dari mesin-mesin kapitalisme yang bisa diperas habis lewat rutinitas pekerjaannya lalu dibuang dan digantikan oleh manusia lain. Tapi, sebenarnya, apakah “rutinitas” memang seburuk itu? Apakah kita memang tanpa sadar sudah menjadi robot pekerja yang telah dicabut akar kemanusiaannya dan secara sukarela menyembah keuntungan material sebagai tuhan dari segala tuhan? Tidak juga. Bagi saya, rutinitas yang berbahaya adalah rutinitas yang tidak memberikan ruang (dan waktu) kepada manusia untuk berkontemplasi dan mempertanyakan makna dari rutinitasnya itu.

Di era modern ini, katakanlah kita memiliki waktu 24 jam, tidur tujuh jam sehari, maka tinggal ada 17 jam waktu kita terjaga. Sedangkan jam kerja rata-rata pekerja (tanpa lembur) adalah delapam jam, sehingga tinggal ada sembilan jam waktu kita di luar bekerja pada jam kantor. Lalu, coba hitung berapa waktu yang digunakan untuk berada di tengah kemacetan, berapa waktu yang habis untuk menyerap informasi (dari semua media massa dan gadget yang selalu menempel di tangan), berapa waktu yang digunakan untuk mengobrol dan bergosip dengan rekan-rekan kita. Untuk “nongkrong”, atau “hang-out”, atau berbagai kegiatan rekreasi lainnya? Kehidupan kita saat ini bisa dibilang sebagai kehidupan yang sangat melelahkan karena tanpa sadar tiap detiknya kita selalu mempunyai hal-hal untuk dipikirkan atau dimintai fokus dan perhatiannya. Selalu ada distraksi, ada gangguan. Memang kita memiliki waktu untuk istirahat, tapi apakah kita benar-benar ‘beristirahat’ jasmani dan rohani?

-End of Part 1

1 comment:

  1. "rutinitas yang berbahaya adalah rutinitas yang tidak memberikan ruang (dan waktu) kepada manusia untuk berkontemplasi dan mempertanyakan makna dari rutinitasnya itu"

    aaah intriguing det! kalimat yang melengkapi lubang dari tulisan gw soal ini. Mantap bro! Smart dude!

    ReplyDelete