Thursday, January 12, 2012

Cubicle dilema (part 2)




Kopiku sudah dingin kali ini, dan kenikmatannya pun sudah hampir menguap seluruhnya bersama berlalunya uap panas kopi tersebut. Aku lantas meneguk kopi yang tersisa, saat aku secara tidak sengaja membaca tulisan di sisi gelasnya “repetition is mother of skill”. 

Hal ini menggelitik pikiranku. Dan muncul pertanyaan di otakku “bagaimana aku bisa menjadikan repetisi (pengulangan) tanpa harus menjadi rutinitas yang membosankan?” Pengulangan yang mengarah kepada perkembangan, bukan ke stagnan-an?”

Haruskah aku harus belajar pada para master beladiri? Bukankah para master beladiri melakukan hal yang sama selama bertahun-tahun? Tapi alih-alih mereka tersangkut dan stuck di dalam pola yg sama, mereka bertambah kuat? Atau haruskah aku belajar dari para biksu zen atau para sufi, bukankah mereka juga melakukan hal yang sama, berdoa dan mengkaji kitab suci seumur hidup mereka. Tapi sekali lagi, alih-alih mereka menjadi stuck, mereka malah bertambah bijak dan dalam keilmuannya.

“Lalu apa bedanya dengan yang ku lakukan” tanyaku dalam hati. Hampir 5 tahun ini aku bekerja keras, membuang lebih dari 13.200 jam waktu hidupku untuk pekerjaan dan karirku. Melakukan berbagai rutinitas dengan sekuat tenagaku. But in the end, I’m still feel same and now, I’m feeling lost?!  Bukankah Einstein sendiri yang berkata, bahwa adalah hal yang Gila, apabila terus melakukan hal yg sama, tapi mengharapkan hasil yg berbeda? 


Tapi mengapa mereka berkembang? Sementara aku disini tertahan?”


“Apa yg membedakan?” tanyaku sekali lagi. Aku merasa di titik ini mengetahui jawaban ini sangat penting bagiku. Dititik ini tidak ada logika di otakku yang bisa menjelaskan hal tersebut.
Lantas aku memejamkan mataku. Menarik panjang dan perlahan nafasku.. Kubiarkan pikiranku melayang dan menembus jauh ke dalam dimensi imajinasiku. Dalam.. dan terus masuk ke bagian yang terdalam. Kemudian aku membayangkan diriku menjadi seorang master beladiri.. Berdiri gagah dengan memakai seragam beladiri berwarna hitam lengkap dengan sabuk yang melingkari dua kali di pinggangku.

Berlatih di kedalaman hutan yang sunyi, ditemani semilir angin dan gemericik suara daun. Sembari sesekali suara burung atau serangga menghiasi kesunyian tersebut. Kulayangkan pukulan demi pukulan, jurus demi jurus.. Kurasakan energy yang mengalir di tubuhku setiap pukulan dan jurus yang terlontar. Kurasakan detak jantungku yang stabil dan nafas yang terkendali. Dan kurasakan ketenangan dan fokus yang mendalam di pikiranku. Kulakukan terus, hingga aku merasa aku cukup mendapat jawaban pertanyaan-pertanyaanku..

Pikiranku kini melayang lagi, dari kedalaman hutan, terbang menuju kuil-kuil dan bangunan-bangunan eksentrik di atas gunung. Kubayangkan diriku menjadi seorang biksu yang sedang khusyuk berdoa membaca doa sutra dengan penghayatan penuh. Ditemani suara ketukan lonceng yang harmoni dengan detak jantungku. Kurasakan kedamaian di dalam pikiranku, kurasakan seluruh jiwaku ikut terhanyut di dalam setiap doa tulus yang terucap.. Kurasakan penyatuanku dengan semesta di sekelilingku..

Kubayangkan aku menjadi seorang sufi yang sedang mengaji kitab suci. Melantunkan ayat suci dengan nada yang menggetarkan jiwaku. Ada cinta dan kepasrahan total yang mengalir mengisi tiap-tiap pori tubuhku, ada rindu yang membuncah di tiap detak jantungku. Ada keindahan tentang-Nya yang mengisi tiap neuron di otakku.. Kurasakan total seluruh keberadaanku, kuyakini dan kusadari penuh tujuan final hidupku.. 

Dan akupun terlarut…


Kini aku menyadari apa yang salah dengan rutinitasku. Apa yang membedakan mereka dengan diriku.. Kebuntuanku kini telah mendapatkan titik cerah. Terowongan hitam kebingunganku telah menemukan cahaya keluar.


Aku mengerti sekarang..

Ada konsistensi dan determinasi untuk kesempurnaan (Excellency) di dalam repetisi mereka, tapi hanya ada keterpaksaan dan tekanan di dalam rutinitasku. 

Ada penjiwaan dan penghayatan penuh di dalam repetisi mereka, tapi hanya ada semangat apa adanya dan totalitas-tergantung-insentif dalam rutinitasku.

Aku lupa bahwa di alam materi ini, manusia pada esensinya adalah makhluk spiritual. Untuk menemukan ketotalitasannya, manusia harus melibatkan spirit nya. Karena tanpa melibatkan spirit semua kegiatannya tersebut hanya menjadi ritual. Yah ritual, suatu tradisi atau pola kebiasaan turun menurun yang telah kehilangan esensinya. Tanpa makna, Cuma bentuk kosong kebiasaan yang dipaksakan kehadirannya. Manusia akan menjadi mudah sekali terjebak di berbagai aturan-aturan tentang hidup yang dibikin oleh sesama manusia untuk memperumit hidup mereka sendiri.

Lucu..


Tanpa melibatkan spirit, hubungan suami istri akan menjadi sex tanpa cinta, shalat akan hanya menjadi gerakan senam sehat saja, sujud tidak akan lebih dari gerakan menungging dan doa tidak lebih dari membaca mantra sembari bermimpi bahwa keajaiban jatuh tiba-tiba dari langit.  Akhirnya hidup pun tidak lebih dari perjalanan memenuhi nafsu keduniawian saja.

Disini aku tersadar, bahwa tanpa melibatkan spirit ku, aku hanya akan berakhir menjadi “robot”. Yang akan terus disibukkan dan akhirnya tersesat oleh program-program artificial kehidupan yang ditentukan oleh lingkunganku. Untuk menjadi manusia secara utuh, aku harus terkoneksi dan melibatkan spiritku dalam menjalani semua lini kehidupan ini.
Terlepas dari manusia yang hanya terjebak ritual.. untuk kemudian menjadi manusia yang spiritual seutuhnya…

**


Aku hampir berada dipuncak epiphany ku, saat sebuah bunyi keras mengagetkan datang dari meja kerjaku, membangunkan ku dari kondisi theta-ku.

BRAAKKKK!!!”

Aku terbangun dengan tiba-tiba! Jantungku berdetak keras dan tidak beraturan. Ketika ku membuka mataku, terlihat Frederick -supervisorku- dengan perut besarnya sedang berdiri menatap marah kepadaku. Mata birunya melotot kepadaku, tangan kirinya berkacak di pinggangnya, dan tangan kanannya menunjuk ke arah setumpuk file kerjaan yang belum kusentuh dari tadi pagi.  Terlihat ia tidak senang dengan apa yang kulakukan sepanjang pagi ini

 Wake up!! You Lazy-*ss!! This company not paying u just for daydreaming all day long!! Get f*ckn done your job! And deliver to my table before lunch break, if you wanna keep ur job! Do U understand me!

Dan satu gebrakan dan luapan kemarahan darinya itu cukup membuyarkan seluruh pencerahan ku. Dengan tergopoh-gopoh kuhidupkan monitorku dan kuambil setumpuk file yang kubiarkan tadi sembari memerintahkan jariku menari secepat mungkin di atas keyboard. Seiring suara ketikanku, derasnya aliran darah yang memenuhi otak dan kembali kalutnya pikiranku; menjadi paduan sempurna yang mengiringi berakhirnya pencerahan spiritualku saat ini. Perlahan tapi pasti pencerahan itu menguap kembali entah kemana. Meninggalkan jiwaku disini kembali menciut.

K e b e r a n i a n.. bisiknya, sebelum akhirnya ia sepenuhnya menguap

Ah ya.. keberanian…”
“Hal yang sudah lama hilang pada ku dan juga jutaan orang yang bernasib sama di kota ini.”


Ternyata untuk lepas dari labirin rutinitas ini, pencerahan saja tidak cukup! Dibutuhkan keberanian yang disertai tindakan untuk mengikat pencerahan tersebut menjadi jalan cerita takdir hidup yang berbeda.

...



Dan untuk kesekian kalinya dalam hidupku, aku terhisap dan tenggelam lagi di rutinitas yang sama tanpa jeda ini...
***

2 comments:

  1. Oh my boy.... Any words are now out of my head... Absolutely wonderful!

    ReplyDelete
  2. *ouch* this is hurt man.. keberanian ya? straight to the point. :)

    ReplyDelete