Tuesday, January 10, 2012

Rutinitas, Ruang dan Waktu



Hari itu saya merasa sangat lelah. Seluruh motivasi kerja saya padam tiba-tiba. Saya mengira saya pasti sudah depresi. Saya mengenalinya dari gejalanya. Nafsu makan saya hilang, saya mudah marah pada hal-hal remeh, tidak mampu menahan konsentrasi, dan sering mengalami tremor ringan pada tangan. Saya bahkan sempat terpikir bahwa hidup itu tidak ada gunanya. “Alangkah baiknya jika saya hanya udara, yang mengisi ruang tanpa perlu menjadi siapa-siapa”, gumam saya dalam hati.

Setelah saya merenung, saya menyadari bahwa saya terbebani oleh dua hal besar sekaligus: Persiapan Pernikahan dan tanggung-jawab Pekerjaan.

Rutinitas baru: Setiap pagi, saya bangun dengan dahi berkerut, memikirkan jadwal tugas hari itu. Setelah mandi saya sarapan ala kadarnya, itu pun sambil memikirkan tantangan-tantangan yang harus saya hadapi di kantor nanti. Berkendara dengan murung dan marah, karena pikiran saya terpaut pada persiapan pernikahan yang tampaknya tak pernah usai. Setelah sehari penuh bekerja dan berkreasi, otak saya panas dan tak mampu berpikir jernih. Lagi, saya mengerjakan pekerjaan-rumah: rancang tugas esok hari, dan siapkan pernikahan.

Dunia terasa bergasing, memualkan, memuakkan. Seolah-olah saya terpojok pada sebuah sudut yang terus menerus dilempari sesuatu.

Setelah masa-masa depresi itu lewat, saya memaksakan diri untuk berkaca. Apa yang terjadi dengan alam kesadaran ku saat sedang depresi?


Ruang dan Waktu
Hidup terdiri dari dua dimensi, Ruang dan Waktu. Kata teoris fisika. Tapi anggaplah asumsi ini benar. Maka, kita mengalami hidup dalam sebentuk ruang dan waktu. Apakah hakikat ruang dan waktu? Relatif, kata Einstein. Dan saya setuju.

Dalam mengalami hidup (saya menggunakan kata aktif, bukan pasif), kita selalu berada dalam relativitas ruang dan waktu. Ruang pribadi tempat saya istirahat, misalnya, adalah ruang sosial bila ternyata sepupu saya datang menginap. Ruang sosial bagi saya, bisa jadi menjadi ruang privat bagi orang tua saya untuk berdiskusi. Relatif. Dan tentu semua orang sudah mengalami sendiri, bagaimana waktu berjalan begitu cepat saat kita mengerjakan sesuatu yang menyenangkan, dan bagaimana waktu berjalan amat lambat saat kita menunggu seseorang. Relatif.

Begitu juga dengan rutinitas. Well, jika rutinitas adalah bagian dari hidup (dan memang iya), maka ia juga bersifat relatif, relatif ruangnya dan relatif waktunya. Rutinitas bukan sesuatu yang tercetak di marmer untuk terjadi begitu selamanya. Sesuatu yang kita sebut 'rutin' saat ini, bisa jadi menjadi tidak rutin di kemudian hari. Relatif!

Disini noktah hitam-nya. Kebanyakan dari kita, oh maaf saya ralat, saya sering sekali melupakan hal ini. Saya menganggap kesibukan (baca: rutinitas) saat itu adalah kenyataan hidup saya untuk selamanya. Dengan berpkir begini, saya merasa berada dalam jurang, dalam sudut, dalam treadmill yang berjalan terus tanpa henti, tanpa bisa saya melakukan apapun atasnya. Jika akhirnya saya depresi, ya tidak aneh.

Fiuh...

Semua yang muncul, baik atau buruk, akan pergi pada waktunya, untuk muncul kembali di suatu masa. Kesibukan dan kelapangan adalah sesuatu yang datang dan pergi. Yang kita sebut sibuk saat ini belum tentu sibuk di lain hari. Yang sedang sibuk saat ini belum tentu sibuk di tempat lain. Relatif.


Hiduplah Saat Demi Saat

Inilah nasehat terbaik yang pernah saya dapatkan dari seseorang. Hiduplah saat demi saat, detik demi detik. Nikmati prosesnya. Nasehat ini tampak begitu mengenai dan mudah diserap saat saya sedang senang, dan ritme kesibukan masih dalam batas toleransi. Namun ketika tanggung-jawab dan rencana bertambah, indikator sibuk mencapai titik maksimal, mesin saya kewalahan lalu korslet.

Pahamilah kesibukan sebagai tanda ilahiah, pelontar kesadaran, dan pengingat esensi hidup. Esensi hidup apa? Tidak lain dan tidak bukan “Relativitas”.

Sebagai penutup, ada baiknya kita tambahkan sesuatu dalam nasehat indah barusan: “Hiduplah saat demi saat, nikmati prosesnya, bahkan saat kesibukan tampak menggila, karena segalanya datang dan pergi. Relatif.” Semoga tak akan ada depresi lagi.



2 comments:

  1. "Hiduplah saat demi saat, detik demi detik. Nikmati prosesnya"

    Thanks for this lovely writing and reminder ini mum. Sebuah nasehat yang udah lama gw lupain ketika banyak hal berlomba-lomba menjadi penting di otak gw. Renyah, tapi mempunyai pesan yang sangat kuat. Keep ur good writing mum :D

    ReplyDelete
  2. "Esensi hidup adalah relativitas"? Boleh nih buat tema berikutnya :))

    ReplyDelete