Hari
itu saya merasa sangat lelah. Seluruh motivasi kerja saya padam
tiba-tiba. Saya mengira saya pasti sudah depresi. Saya mengenalinya
dari gejalanya. Nafsu makan saya hilang, saya mudah marah pada
hal-hal remeh, tidak mampu menahan konsentrasi, dan sering mengalami
tremor ringan pada tangan. Saya bahkan sempat terpikir bahwa hidup
itu tidak ada gunanya. “Alangkah baiknya jika saya hanya udara,
yang mengisi ruang tanpa perlu menjadi siapa-siapa”, gumam saya
dalam hati.
Setelah
saya merenung, saya menyadari bahwa saya terbebani oleh dua
hal besar sekaligus: Persiapan Pernikahan dan tanggung-jawab
Pekerjaan.
Rutinitas
baru: Setiap pagi, saya bangun dengan dahi berkerut, memikirkan
jadwal tugas hari itu. Setelah mandi saya sarapan ala kadarnya, itu
pun sambil memikirkan tantangan-tantangan yang harus saya hadapi di
kantor nanti. Berkendara dengan murung dan marah, karena pikiran saya
terpaut pada persiapan pernikahan yang tampaknya tak pernah usai.
Setelah sehari penuh bekerja dan berkreasi, otak saya panas dan tak
mampu berpikir jernih. Lagi, saya mengerjakan pekerjaan-rumah:
rancang tugas esok hari, dan siapkan pernikahan.
Dunia
terasa bergasing, memualkan, memuakkan. Seolah-olah saya terpojok
pada sebuah sudut yang terus menerus dilempari sesuatu.
Setelah masa-masa depresi itu lewat, saya memaksakan diri untuk berkaca. Apa yang terjadi dengan alam kesadaran ku saat sedang depresi?
Ruang
dan Waktu

Dalam
mengalami hidup (saya menggunakan kata aktif, bukan pasif), kita
selalu berada dalam relativitas ruang dan waktu. Ruang pribadi tempat
saya istirahat, misalnya, adalah ruang sosial bila ternyata sepupu
saya datang menginap. Ruang sosial bagi saya, bisa jadi menjadi ruang
privat bagi orang tua saya untuk berdiskusi. Relatif. Dan tentu semua
orang sudah mengalami sendiri, bagaimana waktu berjalan begitu cepat
saat kita mengerjakan sesuatu yang menyenangkan, dan bagaimana waktu
berjalan amat lambat saat kita menunggu seseorang. Relatif.
Begitu
juga dengan rutinitas. Well, jika rutinitas adalah bagian dari hidup
(dan memang iya), maka ia juga bersifat relatif, relatif ruangnya dan
relatif waktunya. Rutinitas bukan sesuatu yang tercetak di marmer
untuk terjadi begitu selamanya. Sesuatu yang kita sebut 'rutin' saat
ini, bisa jadi menjadi tidak rutin di kemudian hari. Relatif!
Disini
noktah hitam-nya. Kebanyakan dari kita, oh maaf saya ralat, saya
sering sekali melupakan hal ini. Saya menganggap kesibukan (baca:
rutinitas) saat itu adalah kenyataan hidup saya untuk selamanya.
Dengan berpkir begini, saya merasa berada dalam jurang, dalam sudut,
dalam treadmill yang
berjalan terus tanpa henti, tanpa bisa saya melakukan apapun atasnya.
Jika akhirnya saya depresi, ya tidak aneh.
Fiuh...
Semua
yang muncul, baik atau buruk, akan pergi pada waktunya, untuk muncul
kembali di suatu masa. Kesibukan dan kelapangan adalah sesuatu yang
datang dan pergi. Yang kita sebut sibuk saat ini belum tentu sibuk di
lain hari. Yang sedang sibuk saat ini belum tentu sibuk di tempat
lain. Relatif.
Hiduplah
Saat Demi Saat
Inilah
nasehat terbaik yang pernah saya dapatkan dari seseorang. Hiduplah
saat demi saat, detik demi detik. Nikmati prosesnya. Nasehat ini
tampak begitu mengenai dan mudah diserap saat saya sedang senang, dan
ritme kesibukan masih dalam batas toleransi. Namun ketika
tanggung-jawab dan rencana bertambah, indikator sibuk mencapai titik
maksimal, mesin saya kewalahan lalu korslet.
Pahamilah
kesibukan sebagai tanda ilahiah, pelontar kesadaran, dan pengingat
esensi hidup. Esensi hidup apa? Tidak lain dan tidak bukan
“Relativitas”.
Sebagai
penutup, ada baiknya kita tambahkan sesuatu dalam nasehat indah
barusan: “Hiduplah saat demi saat, nikmati prosesnya, bahkan saat
kesibukan tampak menggila, karena segalanya datang dan pergi.
Relatif.” Semoga tak akan ada depresi lagi.
"Hiduplah saat demi saat, detik demi detik. Nikmati prosesnya"
ReplyDeleteThanks for this lovely writing and reminder ini mum. Sebuah nasehat yang udah lama gw lupain ketika banyak hal berlomba-lomba menjadi penting di otak gw. Renyah, tapi mempunyai pesan yang sangat kuat. Keep ur good writing mum :D
"Esensi hidup adalah relativitas"? Boleh nih buat tema berikutnya :))
ReplyDelete